[Setumpuk Rasa di Gelas Kaca]
oleh Arif Rahman Hakim .
.
.
Kamu boleh mengejar semesta. Mengamini doa-doa yang berpijar kepada langit. Menunggu bisikan subuh. Bercerita bahwa mimpi tak pernah reda dari tidurmu. .Kamu boleh pulang lebih dulu. Membuka pintu rumah. Menyalakan lampu ruang tamu. Membaca buku. Menyeduh tangis di sudut kamar. Tak ada yang salah. Kecuali, membuang firasat jika aku tak kembali. Menyapa pagimu, atau bahkan mencintai waktu-waktu rindumu. .
Ada sejuta rindu yang tengah kukarang. Dengan air mata. Dengan deru bunyi setiap langkah orang-orang yang menapaki bumi. Ada yang sedang kurangkai pada bait setiap rasa. Yang terhidang di meja makan. Selain kata 'sayang' yang tak bisa kutemukan. Di mana pun itu. Termasuk di sudut rumah itu. .
Aku telah belajar cara terbaik bertengkar denganmu. Tapi, aku tak sedang berharap untuk menjarak dari nadimu. Atau bahkan menumpukkan rasa di secangkir kopi pagi itu. Yang setia kamu hidangkan. Yang tergeletak sebelum subuh tergelincir di pintu kamar. .
Sekarang, aku punya tanya! Untuk siapa rasa kamu pinta? Pada setiap doa-doa itu.
Sekarang kamu sedang tidak tahu! Kepada siapa doa itu ikut terserat padanya. Apakah pada secangkir kopi di gelas kaca, atau tidak pernah tersentuh sama sekali. .
.Padang, 21 Maret 2018
#haripuisidunia
#haripuisi
#haripuisisedunia
YOU ARE READING
Hujan Belum Usai di Matamu
PoetrySebuah puisi tentang hujan, duka dan luka *** Aku ingin bicara dengamu. Sebentar ataupun lama. Perihal hujan yang mengguyur matamu. Dan sekarang, apakah hujan telah henti di matamu? Jangan hanya diam dan membeku Sebab aku butuh mentari di balik c...