21. Dark Symphony

Start from the beginning
                                    

Merasa cukup, akhirnya Wijaya melepaskan pelukan itu setelah tangisan Riska semakin terkontrol. Mereka saling bertatapan—empat mata—tanpa mengucapkan sepatah katapun, hingga akhirnya Riska memberitahukan alamat yang Raymond katakan padanya. Terbata-bata, terkesan tak ingin diberitahukannya, membuat Wijaya kembali mendekap perempuan itu dan menenangkannya. Perempuan itu memberitahukan alamat yang tak asing bagiku, tidak terlalu jauh dari rumahku. Bahkan, hanya perlu beberapa menit untuk berjalan kaki.

Sekali lagi, aku tak dapat berbuat apa-apa. Padahal perempuan itu sudah duduk di sekolah menengah atas, tetapi aku seperti melihat seorang anak berumur lima tahun yang kehilangan mainannya.

"aku tidak begitu ingat," kata perempuan itu, sambil sesekali sesenggukan. Matanya nanar menatap Wijaya setelah untuk kali kedua Wijaya melepaskannya lagi. "Waktu itu ... Ayah ... dia mendekat ... tidak jelas ... waktu itu Riska ...."

"Jangan memaksakan diri untuk mengingatnya kembali," tukasku cepat. "Terima kasih karena sudah memberitahu kami, mengenai tempat yang Raymond katakan."

"Pak Roy benar," lanjut Wijaya. "Jika kau ingin membicarakan hal itu, tenangkan dulu hatimu. Kau bisa membicarakannya ketika siap, jangan memaksakan. Iya kan, Pak Roy?"

Aku mengangguk. "Tentu."

"Satu lagi, laki-laki itu bukan ayahmu, Riska," beritahu Wijaya. "Selalu ingat, ayahmu bukan orang yang seperti itu."

Riska mulai menenangkan dirinya. Napasnya kembali normal, dadanya yang sedari tadi naik dan turun dengan cepat kini kembali pada kecepatan normal. Air matanya mulai mengering biarpun kedua bola matanya kini berwarna merah. Namun, sekali lagi Wijaya berusaha untuk menenangkannya, tersenyum padanya sebelum akhirnya berpamitan pada perempuan itu, juga pada orang tua Wijaya, berjalan beriringan bersamaku keluar dari rumah yang sangat minimalis itu, terbasahi oleh hujan yang mereda. Membuat sol sepatu kami dipenuhi oleh air yang sedikit tercampur dengan tanah.

Kemudian, di saat kami menggerakkan raga, menuju lokasi selanjutnya di mana kuharap akan mengakhiri seluruh cerita ini, kumasukkan kedua lenganku ke dalam saku, membiarkan beban tubuhku tertahan oleh kedua kaki tanpa adanya bantuan sama sekali.

"Aku iri padamu," celetukku begitu saja, membuat Wijaya penasaran.

"Maksud Anda, Pak?"

"Kau bisa menenangkan perempuan itu dengan cepat, dengan segera." Kuraih pintu pengemudi, membukanya dan sengaja menahan diri untuk tak masuk terlebih dahulu, membiarkan kepalaku menyembul dari balik atap mobil dan dapat melihat Wijaya yang juga terhenti dalam langkahnya di seberang sana, membuka bangku penumpang tanpa memasukinya. "Bukan berarti aku iri kemudian ingin membunuhmu. Hanya saja, kurasa hanya iri."

Wijaya tertawa kecil, mungkin menertawakanku. "Akan saya anggap itu sebagai pujian. Terima kasih, Pak."

Aku membalas senyumannya sambil masuk ke dalam mobil, mengencangkan sabuk pengaman dan segera mengambil ancang-ancang untuk menurunkan rem tangan, memasukan gigi untuk melajukan kendaraan ini.

"Sama-sama," kataku.

===

Alamat yang Riska berikan tampaknya bukan rumah biasa. Sejauh mata memandang, dapat kulihat villa luas bak pondok di tengah hutan. Terdiri atas dua lantai dengan dinding berwarna abu, memiliki ornamen yang tidak begitu ramai sehingga bangunan ini tanpak sederhana, tetapi tetap tak menghilangkan kesan elegan yang timbul darinya.

Berdiri sendiri, villa ini seolah menjadi satu-satunya tempat yang dapat ditinggali di daerah ini—Lembang. Namun, bukan hal itu yang membuatku bergidik ngeri, bukan hal itu yang membuatku merasa takut—juga aneh—sehingga membuat kedua kakiku enggan untuk memijak tempat ini. Masalah terbesar begitu kuketahui bahwa tempat ini yang Riska maksud adalah karena aku mengenal tempat yang dimaksud. Sebuah villa yang sedari kecil sering kukunjungi, villa tempatku bermain bersama teman sepermainanku yang kini tak dapat kukontak.

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Where stories live. Discover now