2. Deduksi

9.5K 1K 56
                                    

Perbincangan kami dalam perjalanan sebenarnya berjalan lancar, tidak begitu buruk. Aku membagikan pengalamanku, sedangkan Wijaya pun menceritakan mengenai jabatan pekerjaannya yang sedikit membuatku iri. Ia mengaku hanya memerlukan waktu dua tahun untuk bergabung dalam divisi ini, bagian pembunuhan, setelah sebelumnya ia menjadi seorang polisi lalu lintas, kemudian dipromosikan sebagai penyidik untuk kasus lalu lintas. Sedangkan aku—dengan segala kekurangan yang ada—merasa harus mendedikasikan waktuku seumur hidup hanya untuk mencapai prestasi ini.

Aku kembali menuju lokasi kejadian. Suasana tak begitu terlihat berbeda selain kerumunan orang yang semakin menipis, walaupun beberapa polisi masih menjaga lokasi. Sebenarnya, jika seseorang tak mengetahui akan kejadian ini serta tak ada garis polisi yang melintang di sepanjang trotoar, mungkin orang itu tak akan menyangka bahwa tempat ini pernah menjadi lokasi dibuangnya mayat karena tak adanya jejak yang tersisa. Seperti yang penyidik itu katakan, sangat bersih, tak ada bekas apapun.

Untungnya, dengan kejadian ini, aku memiliki wewenang untuk memarkirkan mobilku di bahu jalan, menyempitkan arus lalu lintas biarpun sebenarnya tak terlalu menganggu karena terdapat bagian kecil yang menjorok. Wijaya mengikutiku dari belakang ketika aku berjalan keluar. Mengetahui bahwa tak ada seorangpun di dalam mobil, kutekan remot kuncinya, membuat pintu mobil itu terkunci.

"Tempat yang ramai, kan?" tanyaku, memulai percakapan bersama rekan baruku. "Kau pernah berpikir ada seseorang yang akan membuang mayat di tempat seperti ini?"

"Sulit dipercaya. Setahu saya kawasan ini selalu ramai, termasuk di malam hari."

"Ya."

Aku tahu, tempat ini tak pernah sepi, termasuk tengah malam, biarpun jalan layang Pasupati yang melintas di atas kami biasanya sepi pada malam hari, tetapi tidak dengan kolong jalan ini, sebuah persimpangan yang banyak digunakan oleh kendaraan karena akses ke dalam kota yang lebih dekat.

"Menurutmu, orang seperti apa yang berani meletakkan mayat wanita di tengah keramaian seperti ini?"

"Menurut saya, yang harus lebih dikejutkan adalah tak adanya orang yang tahu bahwa seseorang meletakkan mayat di sini, minimal menyadarinya."

Aku mengangguk pelan, tanda setuju.

"Kurasa itulah alasan sang pelaku menyembulkan manekin itu, mengurangi kecurigaan orang-orang, karena tak ada yang menyangka bahwa di dalam plastiknya terdapat sebuah mayat."

"Berdasarkan penjelasan rapat yang tadi kita lakukan, saksinya seorang siswi. Iya kan, Pak?" tanyanya, memastikan, membuatku mengangguk. "Kenapa bocah itu merasa tertarik untuk mengetahui isi dari kantong plastik dengan kepala manekin yang menyembul?"

"Aku tidak tahu, mungkin perempuan itu merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan trash bag yang ia temui? Ya, hal itu bisa kita tanyakan nanti, aku sudah memintanya untuk tidak pergi ke mana-mana dahulu setelah pulang sekolah. Seklahnya dekat dari sini, kita bisa menjemputnya."

"Saya rasa...."

"Wijaya, aku merasa kurang nyaman dengan sebutan 'saya'-mu itu, terlalu formal," tukasku. Kemudian, kututup mulutku, menahan tawa tanpa suara dengan sebelah tangan dan guritan yang kuyakini menghias wajahku.

"Maaf, Pak, kebiasaan."

"Aku pun tidak terbiasa dengan panggilan 'Pak' seperti itu ketika sedang bekerja sebagai sesama rekan." Kulanjutkan tawaku. Namun, dengan buru-buru Wijaya kembali membalasku.

"Maaf," katanya. Aku yang telah memberitahunya, akhirnya mempersilakannya kembali untuk menanyakan perkara yang tadi sempat terputus karena rasa tak nyamanku. Namun, bukannya mengikuti keinginanku, Wijaya kembali pada kebiasaannya.

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Where stories live. Discover now