5. Rebirth

7.4K 905 40
                                    


Otakku tak henti-hentinya memiikirkan Wijaya yang dapat mengejar kariernya secepat itu. Dua puluh lima tahun dan dia sudah menempelkan lencana AKP pada seragamnya, pangkat yang setara denganku. Apakah dia menerima hak istimewa untuk mengejar kariernya? Namun, karena apa? Selain itu, Wijaya tetap tak sombong, menganggapku sebagai seseorang yang lebih berpengalaman. Gila, semua orang di Indonesia kurasa harus mencontoh sikapnya.

Berbekal catatanku, kucoba untuk menarik kesimpulan sementara mengenai kasus yang sedang kutangani, saat itu pula Wijaya secara tiba-tiba memasuki ruanganku, membuatku menutup catatan kecil berisi coretan hasil tanganku yang tak menarik.

"Saya sudah mendatangi enam produsen yang lain, Pak. Hasilnya sama, tak ada yang mencurigakan."

Aku mengangguk. "Tidak akan semudah itu."

"Ah, ya, saya juga tadi berpikir untuk menanyakan tentang R3, mungkin mereka tahu apa maksud dari tulisan itu."

"Lalu?"

"Tak ada yang tahu."

"Termasuk Bu Rita? Kita lupa menanyakannya, kan?"

"Ya, saya kembali ke sana, Pak, menanyakan hal itu."

Aku mengangguk lagi.

"Bagaimana dengan orang tadi, Pak? Anda mendapatkan sesuatu?"

"Aku takut mengatakan hal ini, tetapi kurasa wanita itu memang istrinya."

Wijaya tak dapat berkata apa-apa.

"Yang kita dapatkan hanyalah kita tahu bahwa wanita itu menghilang sekitar tiga hari lalu, jika memang wanita itu adalah istrinya."

"Disekap lalu dibunuh?"

"Tampaknya seperti itu."

Kami memutar bola mata masing-masing, menuju arah yang sama pula.

"Saya rasa kita harus benar-benar membuat daftar dokter bedah di kota ini, Pak," usulnya, segera, sebelum aku mengucapkan sepatah katapun.

"Mungkin. Namun, kurasa selain itu pun kita harus memikirkan maksud dari R3 itu. Yang jelas R3 bukan kode produksi, kan? Selain itu, kurasa kita harus menemui anak yang bernama Afrizal."

"Saya setuju."

"Kalau begitu, hari ini kita sudahi saja dulu," usulku, sembari membereskan meja yang berantakan, berniat untuk pulang. Memang, setelah aku mewawancarai lelaki itu secara tidak formal, aku menunggu Wijaya untuk kembali. Tahu kenapa, kan? Jelas saja karena dia menggunakan mobilku. Aku tak dapat pulang sebelum ia kembali.

Di malam hari, kantor semakin sepi, hanya ada beberapa orang yang berjaga malam. Aku berpamitan pada beberapa orang karena memang jamku di sini telah selesai, begitu pula dengan Wijaya. Kami kembali mengendarai kendaraan masing-masing, menuju kehidupan masing-masing.

Aku kembali memikirkan pria itu—yang ditinggalkan oleh istrinya. Apakah dia dapat tidur nyenyak malam ini? Apakah pikirannya akan berjalan ke mana-mana dan membuatnya tidak fokus? Aku tahu perasaan itu, ditinggalkan oleh kekasih hidup setelah menikah. Istriku baru meninggal beberapa tahun yang lalu, meninggalkan kami—aku dan anakku yang sekarang sedang duduk di bangku kelas 2 SMA. Karena itu pula lah, aku belum ingin membocorkan cerita ini padanya.

Jadi, dalam dinginnya malam, aku berkendara sambil mendengarkan radio melantunkan musik lawas yang berhasil membuat jari-jariku bergerak.

===

Seminggu telah beralu sejak pertama kali penemuan mayat yang menggegerkan kota Bandung itu menjadi perbincangan hangat dalam dunia maya. Dalam forum berita daring pun banyak sekali orang-orang yang mulai berspekulasi mengenai kejadian malang yang menimpa wanita itu. Mulai dari pelaku, alasan mengapa kepalanya dipotong, dengan asumsi belaka. Ah, rasanya enak sekali ya jadi seorang komentator dan tak terjun ke lapangan. Aku menyukai spekulasi-spekulasi yang mereka kemukakan, tentu hal itu mungkin dapat memberikanku sebuah petunjuk yang tak kusadari. Sayangnya, beberapa tulisan seperti 'Masa polisi nggak mikir kayak gini?' terkadang membuatku kesal, ingin meninju layar smartphone-ku karena kebrengsekan mereka yang selalu menulis seenaknya.

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Where stories live. Discover now