13. ̴̙͈̰͖̜̥̮͙̗͉̞̠̣̦̈́̋͑̄͋̾͜͝ ̴̛̮̪͋̌͋̂̓͛̎͆͝ ̵̲͈͔͙̣͓͖̩̜̣̓̈̒̏̒͊̒̿̃̈́̋̕̚

5.8K 735 21
                                    

Aku lebih memilih untuk berjalan mengekor di belakang Wijaya yang berjalan dengan mantap, memasuki pintu depan warung internet dengan motor-motor yang terparkir di halamannya. Pintu yang telah terbuka sebelumnya seolah memang menyambut kedatangan kami. Mengikuti jejak Wijaya, kulepaskan sepatuku terlebih dahulu sebelum memasuki warung internet ini.

Sang operator tampak terkejut melihat kedatangan kami, dalam balutan kaus yang tidak formal, lelaki itu langsung merasa ada sesuatu yang tak beres. Ia segera berdiri, sedangkan aku dan Wijaya langsung mendekatinya. Mungkin, ia mengira akan ada razia mendadak, menghukum semua pelajar yang membolos sekolah dan memilih untuk membuang-buang waktunya di warnet ini dibandingkan belajar dengan serius pada sekolahnya.

Beberapa orang—yang kuterka umurnya setara dengan anak sekolah—mulai gundah, mereka melepaskan headphone yang sedari tadi dipakainya, kaget akan kedatangan kami. Biarpun mereka tidak menggunakan seragam sekolah, aku yakin mereka pasti membohongi orang tuanya, berpura-pura menjadi anak yang baik tanpa orang tuanya sadari bahwa kejadian yang ada berbalik seratus delapan puluh derajat. Untungnya, kedatangan kami di sini bukan untuk mengadakan razia dadakan semacam itu.

"Permisi, Pak," sapa Wijaya, sopan, terhadap sang operator warnet sambil menjulurkan lengannya, seolah-olah kami datang tidak untuk memulai perang. "Kami dari kepolisian."

Begitu Wijaya memperkenalkan dirinya, keributan mulai menyeruak. Terlihat beberapa di antara mereka mengemas tasnya, berusaha untuk kabur tanpa mengindahkan layar komputer yang berada di depannya. Mencoba untuk kabur.

"Saya Wijaya, dan ini Pak Roy," lanjut Wijaya, masih dengan gayanya yang sopan.

Namun, berusaha terlihat tegar, sang operator warnet tidak menunjukkan rasa takut sama sekali. Memang, biasanya kami—atau mungkin lebih tepatnya orang-orang yang berkepntingan—akan memarahi sang operator warnet jika ketahuan membiarkan anak-anak sekolah membolos, tampaknya orang ini telah terbiasa. Namun, sekali lagi, bukan itu tujuan kami ke sini.

"Iya. Ada apa, Pak?" balasnya, tak kalah ramahnya, berusaha menutupi perasaan sebenarnya—mungkin.

Akhirnya, Wijaya menjelaskan maksud kedatangan kami, membuat beberapa anak sekolah bernapas lega, melanjutkan kegiatannya, mengayunkan kaki-kaki mereka di bawah meja.

"Jadi, Pak, saya di sini ingin mencari jejak orang yang hilang, sekitar lima tahun lalu," Wijaya menjelaskan, menutupi kebenaran yang sesungguhnya. Aku yakin dia tak ingin membuat kegemparan di warnet ini, mengatakan mungkin pembunuhan berantai yang terjadi dalam sebulan terakhir ada hubungannya dengan warnet ini, membuat gosip beredar dengan kencang.

Aku memperlihatkan akun yang dimaksud pada sang operator melalui ponsel, walaupun tampaknya dia sendiri kebingungan, tak tahu menahu mengenai orang yang dimaksud. Ya, jelas saja, sih, orang itu menghilang lima tahun lalu—berdasarkan kesaksian Dokter Ryan. Siapapun bisa menjadi orang itu, orang tak dikenal, orang yang hanya sekali saja mengunjungi warnet ini.

Sialnya, baru beberapa detik terkaan itu kubangun di dalam pikiran, semuanya hancur karena ternyata sang operator lebih tahu dari yang kuduga.

"Dulu dia operator warnet di sini," katanya sambil mengembalikan ponsel itu padaku. "Menghilang dengan tiba-tiba sekitar ...," Sang operator warnet menaikkan sebelah alisnya. "Lima tahun lalu, mungkin?"

Tanpa basa-basi, langsung kulanjutkan investigasi ini.

"Boleh kami bertemu dengan pemilik warnet ini?"

"Kebetulan saya pemiliknya, Pak."

Kulepaskan pandanganku, menatap Wijaya yang juga melakukan hal yang sama. Kemudian, seolah sudah tahu apa yang harus ia lakukan, ia membalas, "Boleh kami bicara dengan Anda, Pak?"

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Место, где живут истории. Откройте их для себя