18. Farthest closest

5.6K 756 45
                                    

Musim hujan benar-benar telah datang. Beberapa hari terakhir ini dapat kurasakan tetesan air yang menyeruak di seluruh penjuru kota Bandung. Tak peduli dengan waktu, hujan hampir turun setiap saat, membuat suhu dingin menyelimuti kota ini hingga memaksa orang-orang mengenakan jaket.

Aku pun sama seperti orang-orang yang lainnya, mengenakan jaket begitu merasa kedinginan, berjalan di antara kerumunan untuk menghabiskan waktu. Makan, minum, hingga berdiam diri tanpa alasan yang jelas. Kasusku belum selesai, Dokter Ryan belum ditemukan, tetapi aku pun tak memiliki wewenang untuk ikut campur ke dalam kasus yang lain—kasusku sendiri saja belum ditutup. Akhirnya, karena merasa tak dapat melakukan apapun lagi selain menunggu informasi selanjutnya, aku lebih sering berjalan-jalan sendirian ketika tak menggunakan seragam kerja. Ke kantor pun hanya untuk menyelesaikan beberapa laporan yang belum selesai—yang kini telah kuselesaikan semua. Jadi, kala ini aku benar-benar merasa seperti seorang pengangguran.

Terkadang, aku bertukar pikiran dengan Wijaya, mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk membicarakan hal-hal yang tak begitu berguna. Ya, secara teknis aku belum bisa memutuskan hubungan kami sebagai rekan kerja dalam menangani kasus ini—karena kasus ini belum selesai. Namun, karena tak ada kegiatan yang dapat kami lakukan, akhirnya aku dan Wijaya malah terlihat seperti sahabat sepermainan yang telah lama tak bertemu, bertukar pikiran mengenai kehidupan, membahas hal-hal yang tak ada hubungannya dengan kasus, termasuk permintaan saran yang ia minta padaku mengenai pernikahan.

Aku tak tahu harus berapa lama lagi menunggu. Jika kuhitung, penantianku telah berjalan sekitar tiga atau empat hari. Foto Dokter Ryan telah disebar secara luas, baik melalui koran cetak maupun berita dunia maya. Bahkan, beberapa forum tampaknya terlihat sangat ramai untuk membahas kasus yang tak biasa ini. Sebagian besar dari mereka mengutuk Dokter Ryan, menyumpahinya untuk mati—yang membuatku miris karena dengan mudahnya mereka menulis seperti itu. Beberapa di antaranya terus mencemooh kami karena kinerja yang begitu lambat. Aku sendiri sadar bahwa penanganan kasus ini tak kulakukan secara maksimal. Bahkan, jika mahasiswa itu—Arya—tak memberikan bukti secara konkrit padaku, mungkin tertutupnya kasus ini akan menjadi lebih lama lagi.

Selain itu, anak perempuan dari Dokter Ryan—Riska—menuturkan segala hal yang ia lihat sebelumnya, segala hal yang membuatnya menjerit histeris tak percaya.

Ketika aku dan Wijaya memutuskan untuk membesuknya, Riska menangis tersedu-sedu, mengelap kedua matanya, mencegah aliran mata menjalar lebih jauh melalui pipinya. Dalam isak tangisnya, ia membeberkan cerita yang memang telah kuduga.

Perempuan itu menceritakan bahwa ia sengaja diikat pada kaki-kaki tempat tidur setelah diberikan anestesi oleh Dokter Ryan. Bukan bius total, sehingga Riska masih dapat melihat semuanya, hanya saja terasa lumpuh dan seluruh saraf motoriknya tak dapat digerakkan. Dalam kondisi lumpuhnya itu, ia dapat melihat Dokter Ryan yang menyeret ibunya—dalam keadaan tak sadar—sambil menyiapkan alas tikar, serta ember berwarna sama seperti yang kulihat waktu menggeledah rumahnya, tepat di depan wajahnya.

Jika kuingat kembali seluruh posisi yang ada di kamar wanita itu, semuanya masuk akal. Kamarnya tak begitu sempit—walaupun tak seluas aula gedung juga. Dokter Ryan tentu dapat melakukan seluruh hal yang Riska lakukan secara leluasa.

Kemudian, saat itu pula Riska harus melihat seluruh kejadiannya secara langsung. Dokter Ryan—atau kakaknya, entahlah—menggoreskan sebilah pisau pada sang ibu, membiarkan darah mengucur dengan deras memenuhi ember tersebut. Riska ingin berteriak, tetapi ia tak mampu. Hendak menutup mata pun rasanya benar-benar sulit. Ia bercerita ia seperti orang mati yang tak dapat berbuat apa-apa, padahal seluruh kesadarannya membuktikan bahwa dirinya masih hidup.

Secara perlahan, Dokter Ryan menggunting kulit leher bagian atas, membuatnya terbuka menyeruak setelah ia memastikan bahwa darah yang berada dalam kerongkongannya itu mengucur—semuanya. Kemudian, ia mengambil pisau yang lain, yang lebih tajam, memotong kepala ibunya yang tak sadar—mati. Membuat kepala itu berguling secara perlahan, kemudian berhenti di sela tawa Dokter Ryan yang bagaikan orang gila.

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Where stories live. Discover now