17. Hurt

5.2K 730 38
                                    

Aku tak ingin menguji kemampuan logikaku saat ini, mengetahui trik di balik sempurnanya alibi Dokter Ryan karena kali ini aku telah mendapatkan bukti kuat yang dapat membuatnya diam tak berkutik, biarpun suatu saat nanti pun aku tetap harus mengetahui bagaimana cara ia bekerja—memberatkannya dalam persidangan.

Derap langkahku dan Wijaya bergema memenuhi seisi ruangan. Mengisi kesunyian di balik dinding putih tebal yang menyekat berbagai ruangan. Aku dan Wijaya telah bersiaga, menyiapkan senjata api kami, berjaga-jaga dari hal yang terburuk. Kemudian, berpencar untuk mencarinya—Dokter Ryan.

Pencarianku kali ini benar-benar tak kulakukan dengan kepala dingin, di dalam otakku hanya ada satu perintah :Tangkap si dokter itu!

Perjalananku terhenti pada sebuah kamar di lantai dua setelah susah payah kutempuh lima belas anak tangga. Sebuah kasur tersimpan rapi pada pojok ruangan dengan seseorang yang terikat pada kaki tempat tidur itu. Ikatan selendang sengaja dilingkarkan di mulutnya, menahan dirinya agar tak berteriak. Perempuan itu—yang mungkin berumur sekitar enam belas tahun—duduk dalam keadaan lemah tetapi sadar. Matanya meringis, hampir mengeluarkan air mata dan segera bereaksi begitu melihatku masuk.

Tentu saja tanpa sadar, segera kulepaskan ikatan tangannya, melepaskan jeratan kain dari kaki kasur. Selain itu, segera setelah kubuka ikatan pada mulutnya, perempuan itu langsung histeris, menangis sambil menutup matanya, berusaha meraihku yang berada tepat beberapa sentimeter di depanku. Kalau aku tidak salah, maka perempuan ini adalah anak dari Dokter Ryan—dengan rambut yang acak-acakan dan hampir tak kukenali.

Dirinya terisak, terjatuh di hadapanku sambil tetap menangis sesenggukan. Aku dapat merasakan jantungnya yang berdetak dengan cepat. Lalu, tanpa berpikir panjang, segera kupanggil Wijaya, berteriak memanggil namanya dan membuatnya muncul dalam beberapa detik—reaksi yang cepat.

"Astaga!" Wijaya segera berlari mendekati kami begitu mendatangi ruangan ini, mengambil lengan perempuan yang terlihat histeris itu, sedangkan aku meminta Wijaya untuk membawanya ke mobil, mengantarnya ke rumah sakit terdekat karena keadaan yang begitu lemas, membuatnya segera memanggul perempuan itu dan berjalan perlahan mengikuti instruksiku. Aku tak tahu apa yang terjadi pada perempuan itu, tetapi dapat kuasumsikan bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi—menimpanya. Aku sendiri tak ingin membuatnya berteriak histeris, menanyakan apa yang terjadi. Jadi, aku tak berkata apa-apa, termasuk berteriak meskipun hanya satu patah kata seperti yang Wijaya lakukan.

Aku dapat merasakan ketakutan, kengerian dan kesedihan dari perempuan itu. Reaksinya bukan dibuat-buat, perempuan itu benar-benar ketakutan akan sesuatu. Tentu saja di situasi seperti ini, aku hanya dapat mengasumsikan kejadian buruk menimpa perempuan itu dan berkaitan dengan Dokter Ryan.

Menyisir lingkungan, kurasa kamar ini adalah miliknya, beberapa pernik kewanitaan secara pasti menunjukkannya. Sebuah lemari dengan poster artis lelaki korea terpampang nyata di hadapanku beserta beberapa majalah yang tertumpuk di atas meja belajar. Selain itu, kertas dinding yang melambangkan gambar hati menjuntai dari atas hingga bawah, berwarna merah muda yang sedikit menyilaukan mataku. Rasa pilu semakin menjadi di dalam diriku. Bagaimana mungkin seorang perempuan remaja yang kelihatannya berada dalam kebahagiaan di hidupnya—terlihat dari suasana kamar ini—tiba-tiba berteriak histeris, ketakutan, menunjukkan perbedaan yang sangat jomplang dalam kepribadiannya. Yang pasti, itu benar-benar mengerikan.

Kuselidiki kamar ini dengan sangat teliti, dari ujung hingga ke ujung yang lain tanpa melupakan genggaman pistolku, berjaga-jaga seandainya Dokter Ryan masih bersembunyi di sini dan siap menerjangku, mematahkan kakiku kemudian menikam diriku dengan pisau setelah sebelumnya membuatku pingsan dengan stun gun. Secara berkala, aku berbalik. Untungnya, belum ada siapapun yang kutemui sedang mengendap-endap di belakangku, bersiap menikamku.

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Where stories live. Discover now