21. Dark Symphony

5.5K 727 59
                                    

Kedua bola mata Riska bergerak ke segala arah. Kepalanya menunduk, menunjukkan rasa sungkan dan enggan untuk berbicara empat mata denganku maupun Wijaya. Walaupun begitu, sesekali ia menatap kami—aku dan Wijaya—secara bergantian. Namun, tremor yang saat ini dialami oleh lengannya tak dapat menyembunyikan perasaan takut yang tengah melanda pemikirannya.

Aku pun tak menyukai keadaan yang serupa, memandangnya seolah ia adalah perempuan yang paling bersalah akan kematian ibunya, memerintahkannya untuk mengingat kembali seluruh kejadian yang tak ingin kembali dikenangnya. Sangat berat, aku yakin itu, tetapi aku tak memiliki pilihan lain selain memaksanya. Jadi, dengan sigap kuulurkan lengan kananku, menggapai bahunya yang lebih rendah dari bahuku, membuatnya mengadahkan kepalanya dan menatapku, masih dengan perasaan takut. Sedangkan Wijaya lebih memilih untuk membiarkanku mengambil alih kendali. Aku tidak yakin, tapi mungkin karena Wijaya tak ingin mengambil resiko, menjadi seseorang yang sok tahu dan mencuri ideku, menyadari bahwa mungkin saja Raymond memberitahu sesuatu yang harus kami ketahui melalui Riska.

Menanti saat yang tepat, akhirnya aku hanya dapat menunggu Riska untuk lebih tenang, walaupun harapanku itu tak kunjung datang juga. Kemudian, kutatap secara pasti kedua bola matanya tepat ketika ia melongok ke arahku, mencegahnya untuk memalingkan wajahnya—hal yang tak perlu dilakukan.

"Riska," ucapku, pelan, tetap berusaha membuatnya tenang. "Kau menyembunyikan sesuatu, kan?"

Perempuan itu tak menjawab. Malah, ia membuat sebuah reaksi yang tak kuharapkan, kembali menundukkan wajahnya. Namun, hal itu seolah-olah menunjukkan bahwa dia memang menyembunyikan sesuatu. Kini hanya tinggal bagaimana caraku untuk menggali informasi itu darinya. Ia masih terguncang, aku tahu itu, tetapi aku sendiri ingin kasus ini dapat diselesaikan dengan cepat. Lagipula bukankah si pembunuh—Raymond—tidak mungkin melakukan tindakan kejahatan lagi? Dia sudah berada di balik jeruji besi dan tinggal menunggu keputusan pengadilan, kan?

Aku melakukan ini bukan untuk apa-apa, melainkan melengkapi seluruh puzzle yang Raymond—si brengsek itu—buat.

"Riska," ucapku, sekali lagi dengan nada yang lebih lembut. "Saya mohon."

Tak ada tanda-tanda darinya yang menunjukkan ia akan mengatakannya. Riska semakin gelisah, kurasa keringat dingin sudah membanjiri pelipisnya. Wajah cantiknya tetap tak ingin ditolehkan padaku. Ia mencegahku untuk melihatnya, tak menginginkan situasi ini.

Akhirnya, aku mundur, menjaga jarak dengan dirinya dan berjalan menjauh ketika Wijaya mengambil alih posisiku. Dengan perlahan, Wijaya menyeret kedua kakinya, sepelan mungkin hingga langkah kakinya tak terdengar sama sekali, seolah-olah ia adalah manusia paling ringan di bumi ini. Kemudian, ia melakukan hal yang sama, menepuk bahu perempuan itu beberapa kali, membuat Riska sesenggukan, tetapi kemudian memalingkan wajahnya, melihat Wijaya yang tersenyum kecil dengan alis menggantung.

Dalam waktu yang singkat, perempuan itu memeluk Wijaya, menangis sambil memejamkan kedua matanya. Isak tangisnya tak terdengar dengan jelas karena air hujan menyerang genting-genting rumah ini, tetapi aku mengetahuinya—benar-benar mengetahuinya. Loka pun sempat melakukannya. Bedanya, ia dapat memeluk ibunya—keadaan yang berbeda dengan Riska. Kehilangan kedua orang tua dalam cara yang berbeda di saat yang bersamaan tentu akan sangat menyeramkan, kan?

Wijaya berusaha menenangkannya, menepuk pundak perempuan itu beberapa kali secara halus, sedangkan aku hanya dapat terpaku meratapi pemandangan yang tengah terjadi tepat di depan kedua bola mataku. Apakah aku harus merasa sedih? Apakah aku harus turut bersimpati pada anak perempuan itu yang padahal tidak berhubungan darah denganku? Aku tidak tahu, tetapi aku tetap dapat merasakannya. Hatiku seolah tersayat, menyebabkan rasa sakit yang tanpa sadar membuatku mengepalkan kedua tangan—Raymond brengsek.

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Where stories live. Discover now