Sembilan Belas

16.5K 2K 41
                                    

Hepi belsdei untuk Maknya Bhumi dan Mak Ferli....

**

Aku tidak tahu apakah membiarkan Mama dan Marsya datang ke apartemenku adalah tindakan benar atau salah. Ada perasaan canggung saat menyambut kedatangan mereka, tetapi melihat mereka nyaman berada di apartemenku, aku juga merasa lega. Mama dan Marsya yang terus ribut di dapur mengingatkan masa lalu di mana kami sering berkumpul.

Mama mencintai dapurnya dan senang sekali membuat kami menemaninya di sana. Bukan untuk membantu karena tahu aku dan Marsya tidak tertarik bergelut dengan bahan makanan, tetapi sekadar duduk dan mengobrol.

"Peralatan masak kamu lengkap sekali, La," ujar Mama ketika membuka laci dan melihat berbagai alat dapur yang dibeli Dino. "Kamu sering masak?"

"Bukan aku, Ma. Ada teman yang sering datang dan memasak di sini." Aku tidak ingin berbohong. Tidak ada yang perlu kusembunyikan.

"Syukurlah. Mama sudah khawatir kamu hanya mengandalkan fast food." Mama kembali berdecak kagum saat melihat lemari es yang sudah diisi Dino. Ada juga berbagai jenis bahan makanan kering yang tersusun rapi di rak. "Padahal Mama sudah bawa bahan makanan untuk dimasak," katanya.

"Dia terobsesi dengan makanan," aku menjawab keingintahuan Mama. "Dia koki."

Mama tertawa. "Itu menjelaskan banyak hal. Mama senang kamu punya teman yang terobsesi dengan makanan. Kamu kan terkadang suka lupa makan kalau sedang sibuk."

"Tapi langsung kalap kalau lihat makanan enak," sambung Marsya. Dia sejak tadi sibuk mengelilingi apartemen mungilku. Entah apa yang dicarinya. Seandainya dia ingin menemukan jejak kakaknya, dia tidak akan berhasil. "Teman Mbak Lila itu laki-laki?"

Aku menghentikan gerakanku mengupas bawang. Bagaimana harus menjawabnya, ya? Aku tidak ingin berbohong, tapi mengatakan yang sebenarnya membuatku terkesan membiarkan seorang pria keluar masuk apartemenku dengan bebas.

Aku benar-benar tidak konsisten. Beberapa hari lalu aku membujuk Dino supaya mau menemaniku hari ini, saat Mama dan Marsya datang, tetapi sekarang enggan mengakui jika orang yang selalu menghabiskan waktu bersamaku itu laki-laki? Aku pantas untuk gelar Putri Munafik tahun ini.

"Memangnya kenapa kalau laki-laki?" Mama membebaskanku dari keharusan menjawab. "Kenapa kamu nggak mencincang bawang putih itu saja supaya kita bisa mulai memasak, Sya?"

"Iya, laki-laki," aku akhirnya menjawab saat melihat Marsya masih tidak puas. "Kakak Rima," sambungku cepat. Entah apa yang aku harapkan dari penjelasan tambahan itu.

"Rima punya kakak?" Mama kedengaran tertarik. Dia kenal Rima karena kami beberapa kali pernah jalan bersama saat persiapan pernikahan. Rima juga termasuk tim panelis tetap hasil uji coba resep yang baru dicoba Mama.

"Kakaknya punya usaha di Surabaya, Ma," jelasku. "Baru-baru ini saja pindah ke sini karena membuka cabang restorannya."

"Apa nama restorannya?" tanya Marsya.

Aku tidak yakin Marsya tahu, tetapi menyebutkannya juga. "Kamu mungkin belum pernah dengar. Baru beberapa bulan buka."

"Aku tahu," jawab Marsya mengejutkan. "Pastanya luar biasa."

"Benar-benar enak, Sya?" Mama terdengar tertarik.

"Beneran mantap, Ma." Marsya menoleh padaku. "Namanya siapa? Mungkin aku bisa mendapat diskon kalau nyebutin nama Mbak Lila saat makan di sana."

Marsya bukan orang yang membutuhkan diskon makanan. Aku yakin dia ingin tahu karena hal lain. "Dino," aku menjawab juga. Bukan hal yang perlu kusembunyikan.

(Masih) Tentang Dia (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang