Empat Belas

16K 1.9K 54
                                    

Aku sudah terbiasa dengan jins, kaos, dan kemeja gombrang Lila. Aku tidak masalah selama dia nyaman dengan penampilannya. Terkadang, dia tampak manis dengan gaun sebetis saat aku memberitahunya jika kami akan makan dengan keluargaku.
"Jangan mengejek," katanya saat aku nyengir melihatnya. "Butuh proses sebelum aku terlihat seperti Rima. Model pakaian kayak gini belum bikin aku nyaman."

Aku mengangkat kedua tangan. "Aku tadi mau memuji, bukan mengejek. Nggak mungkin juga mengejek pacar sendiri, kan? Aku sudah bilang kalau aku cinta kamu apa adanya. Jangan berubah karena aku."

Lila mengarahkan bola mata ke atas. "Maksudmu, aku boleh gitu pakai kemeja gombrang sambil gandeng kamu yang pakai jas lengkap di acara resmi? Logika macam apa itu? Kita pasangan, Hen, dan konsekuensinya adalah aku harus menyesuaikan diri sama kamu. Itu yang pasangan lakukan. Adaptasi."

Aku tidak suka berdebat dengan Lila. Melayani perempuan berdebat adalah perbuatan sia-sia. Itu pertempuran yang tidak akan pernah para lelaki menangkan. Jadi untuk apa memaksakan diri? Aku punya cara menyenangkan untuk membungkamnya. Menariknya dalam pelukan dan membungkam bibirnya dengan ciuman. Itu sangat efektif untuk membuatnya diam dan melupakan omelannya.

Lila periang. Aku hampir tidak pernah melihatnya marah atau sedih. Sebaliknya, sangat mudah membuatnya tertawa. Dia bahkan tertawa pada leluconku yang garing.

"Aku beneran menghargai usaha kamu, Hen," ujarnya jail. "Lain kali, tolong buat lebih lucu, ya. Supaya pura-puranya lebih gampang." Ya, dia menyenangkan seperti itu.

Jadi saat melihatnya menyusut mata, hatiku terasa menyesakkan. Waku itu kami dalam perjalanan pulang ke apartemennya dari rumahku. Kami baru saja membicarakan pernikahan kami. Ya, kami akan menikah. Mama yang kegirangan mengatakan bahwa kami tidak perlu melakukan apa pun selain hadir di hari besar tersebut.

"Hei, ada apa?" Aku mengusap punggungnya sambil menyetir. Apakah dia menyesal telah menyetujui pernikahan kami? Tadi dia terlihat bahagia saat membicarakannya, terus tertawa di dekat Mama. Jangan bilang dia berubah pikiran.

"Andai saja Papa dan mamaku masih ada, Hen," isaknya. "Mereka pasti akan bahagia."

Kedua orangtua Lila sudah meninggal beberapa tahun lalu karena kecelakaan. Aku lantas menepikan mobil, mematikan mesin sebelum melepas sabuk pengaman dan menghadapnya. "Aku yakin mereka tahu dan akan tetap bahagia untukmu, La," kataku menghibur. Aku mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Mereka memang nggak ada secara fisik. Tapi kamu pasti merasakan keberadaan mereka dalam hati kamu, kan?" Aku tidak tahu apakah yang aku katakan itu masuk akal atau tidak. Aku hanya ingin membuatnya nyaman. Aku tidak suka melihatnya menangis.

Lengannya memelukku erat. "Kamu tahu kenapa aku terikat sama Rima, Hen?"

"Karena dia sahabatmu?" Aku akan mengatakan apa saja untuk membuat air matanya kering.

"Karena setelah kepergian kedua orangtua dan adikku, Rima lah yang paling lama hadir dalam hidupku. Dia keluargaku meskipun nggak punya ikatan darah yang menghubungkan."

Lila pernah bercerita bahwa ayahnya besar di panti asuhan sehingga tidak punya keluarga yang lain. Ibunya berasal dari Makassar, jadi keluarga besarnya berada di sana semua. Keluarga yang nyaris asing karena mereka tidak terlalu sering pulang. Pernikahan kedua orangtuanya dulu memang tidak terlalu mendapat restu.

"Kamu punya aku sekarang, Sayang. Selain Rima, ada aku dan keluargaku yang akan selalu ada di sisimu. Keluargamu sudah bertambah."

"Kamu nggak akan menyakiti aku nanti kan, Hen? Kamu benar-benar cinta sama aku, kan?"

"Aku nggak akan pernah menyakiti kamu, Sayang," jawabku yakin. " Ini janji. Janji seorang laki-laki kepada perempuannya."

Waktu itu aku sama sekali tidak pernah membayangkan akan melanggar janji. Aku tidak tahu akan bisa menyakitinya sedalam itu. Aku membuatnya kehilangan semua hal paling penting dan dicintainya dalam hidup. Andai aku bisa memutar waktu, aku akan melakukan semuanya secara berbeda. Aku akan membuatnya terus berada di sisiku dan terus tertawa seperti yang selalu dilakukannya. Andai waktu bisa kembali, aku akan bersimpuh di kakinya, memohon maaf untuk kebodohanku. Andai....

Namun waktu tidak akan berulang. Yang bisa kulakukan sekarang adalah berjuang untuk mendapatkan hatinya kembali. Aku sudah menemukan Lila. Itu pertanda. Takdir. Bahwa kami seharusnya bersama. Ya, aku akan melakukan apa pun untuk membuat Lila pulang ke tempatnya. Di sisiku. Aku akan menebus semua dosaku seumur hidup. Semoga aku belum terlambat untuk itu.

**

"Bagaimana keadaannya?" tanyaku pada Mama yang duduk di depan ruang rawat Lila. Aku baru saja dari ruang jenazah tempat jasad Rima disemayamkan.

Mama menggeleng. "Dia masih tidur. Fisiknya mungkin akan sembuh dengan cepat, Hen. Tapi nggak jiwanya. Dia baru saja kehilangan Rima." Mama diam sejenak sebelum melanjutkan, "Juga janinnya. Kamu nggak tahu kalau Lila hamil?"

Aku mengusap wajah dengan kasar. Aku benci diriku sekarang. Suami macam apa aku? Apakah dia sengaja datang ke hotel untuk memberitahu soal kehamilannya itu? Dan apa yang aku berikan?

"Hen, aku haid lagi." Dia menatapku dengan pandangan bersalah setiap kali tamu bulanannya datang. Seolah mendapat haid adalah kesalahannya "Dedek bayinya belum jadi. Maaf, ya."

Aku biasanya langsung memeluknya. "Belum rezeki, Sayang. Kita harus terus usaha. Jangan kecewa. Bikinnya kan gampang. Enak banget lagi. Kalau haidnya kelar, dosisnya dinaikkan, ya. Biar kemungkinan jadinya lebih besar."

"Hennnn!" Lila lantas merajuk, tetapi kemudian tersenyum lagi. Aku suka dia yang tersenyum.

Aku sudah mengantisipasi histeria dan umpatan Lila saat bangun dari pengaruh obat penenang setelah kehilangannya. Aku akan menerima apa pun yang dilakukannya padaku. Tapi tidak. Lila hanya diam saja. Dia tidak bicara apa pun. Bahkan saat aku memberitahu soal Rima dan minta izin meninggalkan di rumah sakit untuk melayat. Dia belum bisa ke mana-mana karena dokter menyuruhnya bed rest total.

Dan aku tidak suka Lila yang diam. Aku lebih suka dia memuntahkan kemarahannya. Mengeluarkan semua uneg-uneg agar kami kemudian bisa bicara dan aku akan memberi penjelasan. Tapi tidak, dia hanya diam dan memunggungiku. Situasinya tidak berubah bahkan setelah kami kembali ke apartemen.

"Biarkan saja dulu," kata Mama yang setiap hari menyempatkan datang untuk menjenguk untuk menyiapkan makanan serta membujuk Lila makan. "Dia sedang berusaha menghadapi kesedihan dan rasa kehilangannya".

Dan meski tidak suka, aku kemudian membiarkan Lila tenggelam dalam diam. Apartemen kami seperti kuburan. Suara hanya berasal dari televisi yang dibiarkannya menyala tapi tidak ditontonnya. Pandangannya menerawang. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Aku lebih suka dikeroyok orang sekampung daripada melihat Lila seperti itu. Babak belur tapi melihatnya tersenyum jauh lebih baik. Tapi dia tidak pernah tersenyum lagi. Jangankan tersenyum, Lila bahkan tidak pernah menjawab semua pertanyaan yang aku lontarkan. Dia seperti sengaja membiarkan aku frustrasi.

Puncaknya adalah ketika aku pulang kantor dan menemukan secarik kertas di atas nakas.

'Aku nggak bisa hidup bersama kamu lagi, Hen. Terlalu menyakitkan. Aku nggak bisa melihatmu tanpa teringat apa yang sudah kamu lakukan padaku. Aku sudah menunjuk pengacara untuk mengajukan gugatan cerai. Kamu hanya perlu melanjutkan prosesnya. Aku pergi. Tolong jangan mencariku. Apa yang sudah terlanjur pecah berantakan nggak akan utuh kembali sekuat apa pun usaha kita menyatukannya. Seperti hubungan kita yang hancur."

Dan Lila kemudian pergi. Dia menghilang membawa hatiku bersamanya. Entah ke mana karena usahaku menemukannya tidak membuahkan hasil.

**

Open PO nggak lama lagi. Hanya ada di olshop ya, Gaess, karena ini  terbitnya SP, biar manisss manjaaahh retjeeeehh-nya nggak hilang.

(Masih) Tentang Dia (Terbit) Where stories live. Discover now