Lima

15.8K 1.7K 25
                                    

Proyek yang aku menangkan dan kedatangan laki-laki itu di kantorku beberapa hari lalu berhasil mendongkrak nilaiku di mata atasan dan rekan kerja. Untuk hal pertama, aku bisa berbangga hati, tetapi untuk yang terakhir, aku membencinya.

Nilai tinggi itu pula yang membuat Pak Yudi merasa harus mengundangku ikut dalam perayaan ulang tahunnya. Makan siang bersama beberapa rekan arsitek senior. Aku belum mengenal senior-seniorku dengan baik, jadi aku minta izin Pak Yudi untuk mengajak Mega. Keberadaannya akan membuatku tidak mati gaya. Menolak ajakan Pak Yudi tentu saja tidak masuk dalam daftar pilihan.

"Pak Yudi meminta saya untuk reservasi tempat, Mbak," lapor Mega padaku. "Saya pesan tempat di restoran pacar Mbak Lila, ya?" Maksudnya Dino. Dino lumayan sering datang ke kantor untuk menjemput atau sekadar mengantar makanan, sehingga sudah kenal dengan Mega. "Hanya saja, restoran itu biasanya padat saat jam makan siang. Mbak Lila bisa menghubungi dia supaya kita pasti dapat tempat?" Gadis manis itu memamerkan senyumnya. "Please?"

Aku ikut tersenyum melihat ekspresinya. "Baiklah." Aku mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Dino, memintanya mengatur meja untuk tujuh orang.

Mega yang sudah hampir sampai di pintu berbalik. "Oh ya, tadi Pak Hendy menghubungi untuk menanyakan nomor telepon dan jadwal Mbak Lila siang ini. Saya sudah bilang kalau kita akan makan siang di restoran pacar Mbak Lila. Dia menanyakan alamatnya dan saya kasih tahu. Nggak apa-apa kan , Mbak?"

"Apa?" Aku memelotot.

Mega rupanya salah mengartikan sikapku. Dia tersenyum penuh arti. "Saya hanya menyebutkan nama restorannya, Mbak. Nggak menyebut bagian pacar itu."

Aku hanya bisa mendesah. Mau bagaimana lagi?

Aku dan Mega tiba lebih dulu di restoran Dino. Dia menyambut kami di depan pintu. Dia mencium pipiku sekilas.

"Kamu nggak masak?" tanyaku. Pakaiannya kelihatan rapi, tidak ada bekas-bekas dia baru saja melepas celemek.

"Aku pemilik tempat ini, Sayang. Dan aku punya beberapa chef yang ingin membuktikan diri." Dia menggandengku. "Biar kuantar ke meja kalian."

"Pacar Mbak Lila cakep banget," komentar Mega dengan tatapan memuja begitu Dino pergi setelah mengantar kami ke meja yang kami tempati.

Aku hanya meringis. "Rambutnya mulai gondrong."

"Cowok berambut gondrong itu seksi, Mbak."

"Tapi boros shampoo." Aku tertawa. Ini obrolan basa-basi yang menyenangkan sambil menunggu Pak Yudi dan yang lain datang.

"Kemarin saya dan teman-teman membuat perbandingan—" Mega terkejut seperti menyadari sesuatu. Dia lalu menggeleng kikuk. "Maaf, Mbak. Saya nggak seharusnya ngomong ini. Maaf, saya sungguh-sungguh nggak bermaksud mencampuri urusan pribadi Mbak Lila. Sungguh." Sorot penyesalan dan ketakutan tampak jelas dari matanya.

Sorot itu malah membuatku penasaran. "Kalian membuat perbandingan soal apa?"

Mega menggeleng kuat-kuat. "Anggap saja Mbak Lila nggak mendengar apa yang tadi saya katakan."

Aku mencondongkan tubuh ke arahnya. "Sudah terlambat untuk pura-pura nggak dengar. Sebaiknya kamu bilang sekarang. Ini pasti bukan hal yang mau kamu ceritakan di depan Pak Yudi dan yang lain, kan?"

Wajah Mega memucat. Dia buru-buru menggeleng. "Eh, itu bukan percakapan serius, Mbak."

"Kalau begitu, ceritakan saja!" tuntutku.

"Mbak Lila nggak akan marah?" Mega bergerak-gerak gelisah, seakan menyesali mulutnya yang keceplosan.

"Saya harus tahu ceritanya sebelum memutuskan mau marah atau nggak, kan?"

(Masih) Tentang Dia (Terbit) Where stories live. Discover now