Sebelas

17.2K 2.1K 39
                                    

Kenapa aku milih SP untuk novel ini? Well, karena pengin scene manis manjahh retjeehh seperti dalam part ini tetap ada. Hepi reading,  Gaesss... open PO akan segera diumumin, ya. Boleh inden dari sekarang di @belibuku.wattpad kalau nggak mau ketinggalan.

**

Aku merasa tenggorokanku sakit. Aku memang sudah bersin-bersin dari semalam. Aku lantas memutuskan tinggal di resor setelah membujuk Mega untuk pergi snorkling. Kasihan kalau dia melewatkan kegiatan itu hanya karena harus menungguiku. Lagi pula, aku tidak merasa demam. Aku tidak ikut karena tahu tidak akan menikmati menyelam sambil bersin dan terbatuk di bawah air.

Aku berbaring di ranjang sambil menikmati semilir angin dan deburan ombak. Dari jendela yang terbuka lebar, aku dapat melihat gulungan lembut gelombang air laut yang mengalun ke pantai, membuat cottage yang kutempati seakan bergerak, seperti hanyut dibawa gelombang.

"Kamu sakit?" Suara itu mengalihkan perhatianku dari jendela. Laki-laki itu menghampiri tempat tidurku.

"Kamu nggak ikut snorkling?" Aku balik bertanya tanpa menjawab pertanyaannya. Aku bangkit dan bersandar di tumpukan bantal.

Alih-alih menjawab, dia menempelkan telapak tangan di dahiku. "Sakit apa?"

Dia pasti mendengarnya dari Mega. Aku melepaskan tangannya dari dahiku. "Hanya flu."

"Dari dulu kamu gampang sekali kena flu. Stamina kamu payah. Kamu nggak minum suplemen?"

Aku tertegun. Omelannya tidak membuatku kesal seperti biasa. Nada itu malah membuat hatiku terasa hangat karena merasa diperhatikan. Iya, dasar labil, aku tahu. "Jangan berlebihan. Aku hanya flu."

"Obat malarianya nggak lupa kamu minum, kan?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng. Tentu saja aku tidak lupa. Aku tidak mau pulang membawa penyakit. "Nggak."

Dia berdiri. "Aku akan meminta orang resor untuk mencari dokter."

Aku buru-buru menarik tangannya. "Astaga, aku hanya flu. Aku nggak sekarat." Rasanya berlebihan sekali merepotkan orang untuk mengobati virus flu.

Dia kembali duduk di tepi ranjang. Tanganku yang tadi menariknya kini sudah berada dalam genggamannya yang besar dan hangat. "Beneran nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa." Aku menatapnya untuk meyakinkan. Perbuatan bodoh, tentu saja. Mata kami saling mengunci dan bicara lebih banyak daripada yang mulut bisa lakukan.

Aku mencoba mengalihkan pandangan karena tahu detak jantungku akan meningkat saat tenggelam dalam bola matanya yang tenang, tetapi dia tidak mengizinkan. Kedua tangannya sudah menangkup kedua pipiku, membuatku harus terus melihatnya. Aku tidak suka posisi kami sekarang. Jantungku sudah berulah, seakan mencoba melompat dari rongganya.

"Biarkan aku menatapmu seperti ini, La," katanya pelan.

"Hen—" Untuk pertama kali semenjak kami bertemu kembali, aku menyebut namanya. "Jangan seperti ini," keluhku lirih.

"Seperti apa?" Wajahnya kian mendekat. Bukan hanya embusan napasnya yang mengelus wajahku, aku bahkan bisa mencium aroma after shave yang dipakainya. Juga wangi mint dari mulutnya.

Sebelum aku sepenuhnya tersadar, bibir kami sudah bersentuhan. Pelan. Lembut. Aku tahu itu tidak benar, tetapi juga tidak ingin memisahkan diri. Aku tahu ini salah, tetapi rasanya tepat. Aku merindukan sentuhannya. Bibirku malah membuka dan menyambut saat dia memperdalam ciumannya.

Di situ, di antara alun ombak, di sela elusan angin, hasrat kami saling mencari dan menemukan. Aku merasakan apa yang selama ini tubuhku dambakan selama ratusan hari. Sentuhan dari lelaki yang pernah memiliki hatiku seutuhnya. Tidak, bukan pernah, dia masih menguasai hatiku.

(Masih) Tentang Dia (Terbit) Where stories live. Discover now