Enam

15.9K 1.7K 35
                                    

Cerita ini akan di-update berkala sampai saat open PO, ya.

**

Aku membersihkan luka di bibir Dino dengan kasar. Kekesalanku belum hilang. Semua rekanku sudah kembali ke kantor, tetapi aku harus tinggal untuk mengurus kunyuk ini. Dan lagi, kembali ke kantor sekarang bukan pilihan menarik. Mereka pasti sedang sibuk membicarakan aku. Perempuan yang punya suami dan kekasih di saat yang sama. Imejku benar-benar rusak parah.

"Pelan sedikit, Yang," kata Dino sambil meringis.

"Sayang dengkulmu!" Aku melemparkan kapas kotor padanya. "Sudah kubilang jangan cari masalah dengan dia."

"Hei, siapa yang tahu kalau kepalan tangannya sekeras itu!" Dino membela diri. "Dia mengerikan saat marah. Lagian, bukan aku yang cari masalah. Dia yang datang bawa masalah ke sini."

Aku mengembuskan napas kesal. "Kalian berdua kekanakan. Bagaimana aku akan kembali ke kantor setelah peristiwa tadi?"

"Kukira kamu bukan orang yang peduli dengan penilaian orang." Dino sama sekali tidak membantu.

"Aku peduli kalau menyangkut soal sensitif seperti ini." Bukan dia yang harus menghadapi kasak-kusuk di balik punggungku. "Kalian membuatku punya pacar dan suami di saat yang sama. Bayangkan penilaian mereka padaku."

Dino menatapku jail. "Aku kira kamu sudah bercerai dengan dia."

"Sudah." Sekarang aku jadi ragu. Beberapa hari sebelum pergi dari rumah, aku memakai jasa seorang pengacara untuk mengurus perceraianku. Aku sudah menyerahkan semua berkas-berkas yang diperlukan untuk proses itu. Hanya saja, aku tidak mengikuti perkembangannya setelah tiba di Surabaya dan mengganti nomor kontakku. Namun, setahuku, gugatan cerai itu telah dilimpahkan ke pengadilan agama. Aku mengingatkan diri untuk mampir ke kantor pengacara itu. Aku perlu surat cerai itu untuk membentengi diri dari laki-laki itu.

"Kalau begitu, kenapa dia masih menyebut kamu sebagai istrinya?"

Aku kembali menatap Dino sebal. "Mana aku tahu? Kamu seharusnya tanya soal itu sama dia, bukan aku."

"Dia masih mencintaimu." Dino menegakkan punggung. "Semua orang yang berada di sana dan melihat kejadian tadi pasti punya pikiran yang sama." Dia meringis saat memegang rahangnya. "Gila, kepalannya benar-benar kuat."

Aku mengibas tidak sabar. Ini bukan saat yang tepat untuk bicara soal cinta dan perasaan. Aku tidak punya waktu untuk hal seremeh itu sekarang. "Kami sudah berpisah. Apa yang dia lakukan nggak bisa dimaafkan."

Dino mendesah. Dia menarik tanganku. "Kamu tahu, La, dendam lebih sering menghancurkan diri sendiri. Seumpama luka, dia selalu menganga karena kamu nggak mau dia sembuh. Kamu menjaga supaya darahnya tetap mengalir untuk tetap ngerasain sakitnya. Lepaskan, La. Kamu berhak bahagia. Dan kebahagiaan itu nggak akan kamu temukan dengan dendam yang merimbun di hatimu. Kamu harus belajar memaafkan."

"Dia nggak pantas dimaafkan!" geramku seraya melengos.

"Kamu memaafkan untuk dirimu sendiri. Untuk kedamaian hatimu. Bukan untuk dia. Kamu nggak bisa memulai hidup yang baru kalau terus membawa luka masa lalu di langkah kamu sekarang."

Aku menatap Dino tidak percaya. Aku merasa dikhianati. "Apa yang membuat kamu melunak, No? Seharusnya kebencianmu sama dia sama besar dengan yang aku miliki."

Dino berusaha meraih kembali tangan yang kulepaskan dari genggamannya dengan kasar. "Lila, dengarkan aku..."

Cukup. Aku tidak mau melanjutkan ini dengannya. Aku benar-benar marah sekarang. Aku meraih tasku dan bergerak menuju pintu kantor Dino yang terletak di lantai dua restorannya. Aku menoleh sejenak. "Atau kamu tertarik sama dia? Jatuh cinta sama kepalan tangannya? Seharusnya aku tahu jika bersekutu dengan seorang gay menghadapi lelaki lain akan menjadi bumerang." Aku keluar dan membanting pintu di belakangku.

(Masih) Tentang Dia (Terbit) Where stories live. Discover now