Tiga

19.2K 1.8K 24
                                    

Aku menemukan Dino di dapur saat aku tiba di apartemen. Dia masih memakai celemek, sedang memotong-motong sosis. Aku melempar tas di sofa dan menggabungkan diri dengannya. Aku tidak bermaksud membantunya memasak. Aku hanya duduk di kursi tinggi dan menopang wajah dengan sebelah tangan, memandanginya.

"Hai." Dino memamerkan senyum. "Hari kamu segitu jeleknya, ya? Muka kok sampai masam gitu."

Jelek? Mengerikan adalah kata yang lebih tepat. "Kayak naruh garam dalam kolak yang sedang kamu masak, padahal yang kamu maksud itu gula." Analogi seperti itu mungkin cocok untuk seorang koki.

Dino berdecak. "Bencana. Kamu dipecat?" Tidak ada nada prihatin dalam suaranya. Senyumnya tidak surut.

"Lebih buruk daripada sekadar kehilangan pekerjaan." Aku masih tak melepaskan pandangan dari wajahnya.

"Semua akan terasa lebih buruk saat perut kamu lapar, Sayang. Mau nasi goreng?" Dino menunjuk nasi putih yang sudah dikeluarkan dari pemanas. "Akan aku jadiin dua porsi kalau kamu mau."

"Kamu atau aku yang masak?" tanyaku setengah menggoda. Bercanda mungkin bisa memperbaiki suasana hati.

"Kamu mengharapkan aku makan masakanmu?" Laki-laki itu tertawa. "Aku chef, Sayang. Kuingatkan kalau kamu lupa. Jauh-jauh dari dapurku!"

"Itu dapurku," kataku membantah.

"Sekarang aku yang sedang berkuasa di sini. Ini dapurmu kalau aku sudah keluar dari apartemen ini."

"Seharusnya kamu membawa makanan dari restoran." Aku mengalihkan arah percakapan. "Biar nggak usah capek-capek masak."

Dino menggeleng mendengar usulku. "No... no ... no... aku nggak membawa makanan dari tempat kerja. Itu melanggar peraturan."

Aku meringis. Suasana hatiku perlahan membaik. "Peraturan siapa?"

"Peraturanku, tentu saja. Aku pemilik restoran itu." Dino memberi gerakan mengusir. "Mandi dulu. Nasi gorengnya sudah siap saat kamu selesai mandi."

Aku tertawa melihat ekpresinya. Dia bertingkah seolah aku menebarkan aroma beracun. "I love you, No."

"Aku tahu." Dia kembali menekuri talenannya, masih dengan senyum. "Nggak ada yang tahan dengan pesonaku, kan?"

Aku berdecak menggeleng. Seharusnya aku sudah tahu reaksinya akan seperti itu. Narsis!

Kami duduk bersisian di sofa, depan televisi setelah makan. Dino sudah meletakkan dua cangkir kopi di atas meja. Aku mengamati kepulan asap yang berasal dari kopi itu, menghirup aroma kafein yang kental menguar.

"Aku tadi ketemu dia," kataku mendesah, tanpa intro.

"Dia siapa?" Dino masih sibuk dengan remote di tangannya. Entah mencari saluran apa. Tidak biasanya dia tertarik dengan siaran televisi.

"Siapa lagi?" Aku dapat mendengar suaraku yang getir. Membicarakan laki-laki itu tidak pernah mudah. Dalam kasus ini, waktu yang berlalu tidak terlalu banyak membantu.

Dino melepas remote dan berbalik menghadapku. "Laki-laki itu? Hendy?"

"Dia ternyata klienku." Aku tertawa miris. "Dunia memang sempit."

"Lalu?" Aku dapat merasakan keprihatinan suara Doni. Dia tahu persis rasa sakit yang harus kutanggung karena laki-laki itu. Dino yang ada di sisiku dan membantuku melewati hari setelahnya.

Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Aku jadi pengin melepas proyek itu dan nyerahin sama rekan lain. Aku akan ngomongin ini dengan bosku besok."

"Jangan lakukan!" Geleng Dino tegas. Tangannya melambai di depan dada. Menunjukkan penolakan, ketidaksetujuan. "Gila saja mau melepas kerja keras kamu karena dia."

(Masih) Tentang Dia (Terbit) Where stories live. Discover now