Delapan

15.8K 1.9K 21
                                    

"Aku nggak bisa ninggalin restoran sesukaku, La," tolak Dino saat aku memintanya ikut ke Raja Ampat. Aku akan lebih nyaman jika dia berada di sisiku. Aku akan punya tameng. Sekutu. Dino sangat cocok untuk posisi itu.

"Tapi itu restoranmu. Kamu bisa libur kapan saja," bujukku.

"Karena itu restoranku, maka aku harus mastiin kalau semua berjalan dengan baik. Aku belum merencanakan untuk cuti dalam waktu dekat." Dino tetap menolak.

"Hanya beberapa hari, No."Aku masih mencoba. "Kamu punya asisten yang bisa menggantikan selama kamu nggak ada."

"Aku nggak bisa, La. Maaf banget." Dino menggeleng tegas. Dia tidak tampak goyah. "Kenapa kamu malah panik seperti ini hanya karena akan bepergian dengan Hendy? Ini perjalanan dinas, kan?"

Aku menampilkan wajah memelas. Berharap Dino luluh. "Kamu tahu pasti alasannya apa. Aku nggak suka berada di dekatnya."

"Bukannya itu bikin acara balas dendam kamu bisa berjalan mulus? Untuk membalasnya, kamu harus berada di dekatnya, kan? Atau aku yang salah?"

Aku mendengus. "Nggak lucu, No. Jangan mengejek." Aku belum tahu apa yang akan kulakukan untuk membalas laki-laki itu.

"Kamu bukannya nggak suka berada di dekatnya, La. Kam takut nggak bisa mengendalikan diri di dekatnya karena kamu masih cinta dia."

Aku menatap Dino kesal. Bisa-bisanya dia mengatakan hal seperti iu sekarang. "Kamu beneran serius mau ngajak ribut?"

"Aku mengajakmu ikhlas mengakui kenyataan, La. Kalau kamu benar-benar nggak punya perasaan lain kecuali benci, nggak akan sulit untuk berada di dekatnya. Mungkin kamu malah bisa nenggelamin dia saat kalian sedang diving."

"Kami ke sana meninjau lokasi dan bukan liburan." Ada-ada saja. Dino berkata seolah aku dan laki-laki itu pergi ke sana untuk liburan.

Dino tertawa. "Ya, tentu saja. Kamu pasti terlalu sibuk untuk sekadar snorkling, melihat sunrise, sunset, dan berwisata kuliner."

Aku melemparnya dengan majalah yang kupegang. "Kamu nyebelin banget sih!"

Dino menangkap majalah itu dan meletakkannya di atas meja. Tawanya menghilang. Rautnya berubah serius. Dia menarik tanganku, mengajak duduk di dekatnya. "Maafkan dia, La," katanya sambil merangkulku.

Tubuhku menegang. "Nggak, aku nggak bisa." Beraninya Dino meminta hal itu dariku. "Kamu sendiri tahu apa yang dia lakukan padaku. Dia nggak pantas untuk dimaafkan."

"Aku nggak minta kamu memaafkan untuk dia. Kamu melakukannya untuk diri kamu sendiri. Kita sudah pernah membicarakan ini." Dino mengusap punggung tanganku. "Apa untungnya terus hidup dalam kebencian? Nggak ada. Hanya akan ada rasa sakit yang merimbun di hati kamu. Apa itu ada gunanya untuk masa depan kamu? Nggak ada. Lepaskan apa yang bisa kamu lepaskan, La. Tinggalkan masa lalu itu di tempatnya, karena terlalu berat untuk dibawa ke masa kini."

Aku membuang pandang. Tanganku mengepal. "Aku nggak bisa."

"Kamu bisa. Kamu hanya nggak mau. Itu berbeda."

"Aku nggak bisa menerima dia kembali dalam hidupku, No."

"Aku nggak suruh kamu menerima dia kembali. Aku minta kamu memaafkannya supaya kamu bisa berdamai dengan diri kamu sendiri. Beban itu terlalu melelahkan untuk kamu biarkan hidup dalam benak, La. Lepaskan. Selamatkan dirimu. Sudah terlalu lama kamu bersimbah air mata. Sudah saatnya kamu mulai belajar tertawa kembali."

"Kamu tahu, No." Mataku menerawang. Berbagai peristiwa berkelabat dalam kepala. Peristiwa yang tidak ingin kuingat tapi tidak pernah terlupa. "Aku bahkan nggak bisa menangis sejak kejadian itu." Mataku selalu bisa memanas dengan mudah, tetapi air mata sialan itu menolak turun.

(Masih) Tentang Dia (Terbit) Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora