Dua Puluh

17.7K 2K 97
                                    

Open PO tahap 1 sudah ditutup ya, Gaess. Tapi kalian masih bisa ikutan tahap 2, yang pengirimannya akan dibarengi dengan Midnight Prince yang lagi nunggu jadwal terbit dari penerbit. Oke, hepi reading en lope-lope yu ol, Gaeessss...

**

HENDY

Aku sudah memutuskan berjuang lebih keras untuk merebut hati Lila kembali. Salah satu yang harus kulakukan adalah membersihkan jalan yang menghubungkan kami. Risa merupakan salah satu rintangan yang melintang di jalan itu. Menyingkirkan dia seharusnya sudah aku lakukan sejak lama.

Risa pemicu kepergian Lila. Aku pernah marah besar karena itu, dan hubungan kami terputus sama sekali. Sampai beberapa bulan lalu saat aku dan Risa bertemu lagi di salah satu acara dan dia mulai menghubungiku kembali. Entah bagaimana, tetapi dia tahu tentang kepergian Lila. Aku sebenarnya tidak ingin menanggapinya, tetapi mengganti nomor telepon untuk menghindari Risa rasanya terlalu berlebihan. Bagaimana jika Lila yang menghubungiku? Aku tidak mau melakukan perubahan apa pun jika itu menyangkut Lila.

Beberapa pertemuan yang tak direncanakan membuat Risa sesekali lalu muncul di kantorku untuk mengajak makan siang.

"Jangan lakukan ini," tolakku dulu. "Aku sudah menikah."

"Lalu istri kamu di mana?" Risa lantas tersenyum. "Jangan berlebihan, Hen. Memangnya pria yang sudah menikah nggak bisa berteman dengan perempuan lain?"

Aku ingin menjawab bahwa berteman dengan dia adalah hal mustahil setelah apa yang dilakukannya pada aku dan Lila. Namun aku akan terdengar seperti perempuan nyinyir dengan tingkat kecurigaan luar biasa.

Penolakan-penolakanku tidak membuat Risa lantas menjauh. Karena tidak melihat sikapnya yang berlebihan selain berusaha menjadi teman, aku kemudian sesekali mengikuti ajakan makannya saat Risa menjemputku ke kantor. Mengikuti ajakannya, tapi tidak pernah balik mengajaknya. Aku tidak ingin dia berharap lebih dan nyaman dengan kedekatan kami. Aku tidak pernah berniat mengganti kedudukan Lila dengan orang lain.

Saat ini aku dan Risa tengah duduk di sebuah kafe. Kali ini aku yang mengusulkan pertemuan. Aku ingin menyelesaikan semua. Aku tidak ingin pertemanan atau apa pun namanya yang bisa menyebabkan aku kembali kehilangan Lila.

"Dia benar kembali, heh?" Risa menyesap kopinya. Dia menatapku dari balik cangkir. "Aku lihat dia saat jemput kamu di Bandara tempo hari. Kupikir aku salah lihat karena dia malah pergi dengan laki-laki lain."

"Kenapa kamu jemput aku waktu itu?" Apakah Lila melihat Risa dan membuatnya salah sangka lagi? Sikapnya yang agak melunak setelah peristiwa di Raja Ampat kembali ke titik beku setelah kami kembali ke sini.

Risa mengangkat bahu. "Aku menghubungi kantor kamu karena ponselmu nggak aktif. Sekretaris kamu ngasih tahu jadwal kedatanganmu. Kupikir kamu akan senang lihat aku datang menjemput."

Aku menghela napas. Aku tidak pernah ahli dalam menyuruh orang menjauhiku. Hanya saja aku tidak punya pilihan lain jika itu melibatkan Lila. "Maafkan aku, Ris, tapi aku nggak bisa berteman dengan kamu. Nggak lagi. Istriku prioritasku sekarang."

"Dia meninggalkanmu, Hen. Istri macam apa yang pergi dari suaminya?"

"Aku yang membuatnya pergi," jawabku cepat. Aku tidak mau bicara tentang istriku dengan Lisa. "Aku nggak mau kehilangan dia lagi. Nggak untuk kedua kali."

"Aku sedang berusaha membuat keadaan kita seperti dulu lagi, Hen. Dulu kita bahagia."

Aku bukannya tidak tahu tentang hal itu. Risa gigih dan tahu apa yang diinginkan dan bagaimana cara mendapatkan keinginannya. "Kita hanya berteman."

(Masih) Tentang Dia (Terbit) Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ