Sepuluh

16.8K 1.8K 49
                                    

Penerbangan menuju ke Sorong, Papua Barat memakan waktu hampir enam jam. Punggungku rasanya pegal. Kami memang sempat transit di Makassar, tetapi terus-menerus duduk memang tidak nyaman. Aku menarik napas lega saat mendengar pengumuman bahwa sesaat lagi kami akan mendarat di Bandara Domine Eduard Osok .

Seseorang yang menjemput kami mengatakan kalau kami akan makan siang terlebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan menggunakan speedboat, karena kami sudah terlambat untuk penyeberangan menggunakan kapal feri.

"Sebenarnya dari Sorong bisa langsung terbang ke Waisai, Ibu kota Raja Ampat," jelas Pak Matius, laki-laki paruh baya yang menjemput kami dengan logat Papua yang kental. "Tapi hari kamis bagini Susi Air tra terbang. Jadwalnya senin, rabu, dan jumat. Pagi-pagi."

"Susi Air punya Menteri Susi, Pak?" tanya Mega antusias.

"Iya, Nona. Pesawat kecil saja mo. Cuma 16 kursi."

Di sepanjang perjalanan menuju Waisai menggunakan speedboat carteran, Pak Matius bercerita tentang legenda Raja Ampat. Tentang asal muasal nama tersebut. Menurut Pak Matius, ada beberapa versi cerita yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu versi yang diyakini oleh masyarakat setempat adalah kisah tentang sepasang suami istri dari Teluk Kabui, Kampung Wawiyai yang bekerja sebagai perambah hutan.

Pada suatu hari ketika melewati Sungai Waikeo, mereka menemukan lima butir telur naga. Telur-telur aneh tersebut kemudian mereka masukkan dalam noken (kantong khas Papua), dibawa pulang ke rumah, dan disimpan di dalam kamar.

Waktu berlalu, sampai kemudian telur-telur tersebut menetas. Yang keluar dari cangkang bukanlah anak naga melainkan empat orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Kelima anak itu lahir dengan pakaian indah, yang menandakan bahwa mereka adalah keturunan raja.

Keempat anak laki-laki tadi diberi nama Betani, Dohar, Mohamad, dan War. Mereka kemudian menjadi raja dari masing-masing pulau utama yang ada di gugusan yang membentuk Raja Ampat. Pulau Salawati, Misool, Batanta, dan Waigeo. Si anak perempuan yang bernama Pintolee, setelah dewasa lalu hamil dan mengeluarkan dua butir telur. Sebuah telur dia letakkan di kulit bia (kerang) yang lebar dan kemudian dihanyutkan hingga terdampar di sebuah pulau yang bernama Numfor. Telur yang satu lagi tidak menetas dan kemudian berubah menjadi batu yang diberi nama Kapatnai. Batu itu diperlakukan seperti raja oleh penduduk sekitar, bahkan dibuatkan ruangan untuk tempat bersemayam. Sampai saat ini, tempat persemayaman tersebut masih menjadi obyek pemujaan.

Meskipun Pak Matius bercerita dengan logat Papua yang kental, aku cukup menikmati kisahnya. Legenda adalah legenda, cerita yang kisahkan dari generasi ke generasi. Kebanyakan kisah itu tercipta sebelum agama masuk dalam sendi kehidupan masyarakat, saat animisme menjadi satu-satunya kepercayaan. Legenda cukup dinikmati tanpa perlu diuji dan dipertanyakan kebenarannya.

"Seperti Bapak pu mau, torang su reservasi tempat di Kri Eco-Resort untuk tiga hari setelah meninjau lokasi pembangunan hotel di Waisai," Pak Matius bicara pada laki-laki itu.

"Mbak, Kri Eco itu mahal, lho," Mega berbisik. "Saya sempat googling. Tadinya saya pikir kita hanya menginap di hotel atau homestay. Ini jelas perjalanan kerja paling asyik yang pernah saya lakukan." Rautnya tampak antusias dan berseri-seri. Andai saja aku bisa merasa seperti itu.

Ini memang sedikit mengherankan. Dari kata-kata Pak Matius tadi, perjalanan ini lebih kental unsur wisata daripada kerjanya. Bukannya aku keberatan sih, dari dulu aku ingin berkunjung ke Raja Ampat. Itu malah sudah pernah masuk dalam bucket list yang aku yakin pasti akan kucentang, tetapi akhirnya kemudian batal setelah peristiwa yang mengubah jalan hidupku. Kejadian yang benar-benar tidak ingin aku ingat sekarang karena hanya akan membuat kelenjar air mataku kembali aktif.

(Masih) Tentang Dia (Terbit) Where stories live. Discover now