Empat

18.2K 1.9K 19
                                    


Aku belum lama duduk saat Mega mengetuk pintu dan masuk ruanganku. Aku tadi terlambat masuk kantor. Kopi hitam membuatku terjaga sampai dini hari. Aku menghabiskan malam untuk menimbang-nimbang beberapa skenario yang bisa aku gunakan untuk membalas dendam.

"Ada bunga untuk Mbak Lila," suara Mega membuatku mengangkat kepala. Buket mawar kuning berada dalam pelukannya. Tidak banyak yang tahu bunga kesukaanku. Tak perlu bertanya, aku sudah tahu siapa yang mengirimnya.

"Untuk kamu saja," aku menjawab sambil menunduk kembali, menekuri laptop yang baru kubuka. Ini saat untuk bekerja. Aku tidak akan membiarkan pertemuan tak terduga kemarin memengaruhi kinerjaku di kantor. Ya, teori memang sangat mudah, karena aku sama sekali tidak yakin dengan apa yang baru saja kukatakan.

"Tapi, Mbak..." Mega terdengar tidak yakin.

"Kalau nggak suka, buang saja." Nadaku mungkin terlalu tegas. Mega langsung terdiam. Aku mendesah. Lelaki itu tahu persis bagaimana cara membuatku kesal. "Saya nggak suka ada bunga di mejaku." Aku menurunkan tempo suara.

"Dari Pak Hendy, Mbak. Klien kita kemarin—"

"Masalahnya bukan pengirimnya, Mega," aku membuat suaraku lebih ramah. "Saya alergi bunga. Bawa keluar, ya."

"Maaf, Mbak." Mega berjalan mundur. Seolah takut aku mendadak akan mengeluarkan reaksi alergi karena bunga itu. "Saya nggak tahu. Saya bawa keluar sekarang, Mbak."

"Mega," panggilku sebelum dia mencapai pintu. Aku memaksakan senyum. "Besok-besok, pastikan nggak ada bunga yang masuk di ruangan ini, ya."

Gadis itu mengangguk, tersenyum maklum. "Baik, Mbak, permisi."

Aku tahu jika laki-laki itu bukan orang yang gampang menyerah. Aku yakin itu bukan buket bunga yang terakhir. Aku bahkan tidak akan kaget kalau sebentar lagi dia akan muncul di kantorku. Aku mengenalnya dengan baik. Itulah mengapa dulu aku memilih tempat yang jauh untuk melarikan diri darinya. Tempat yang tidak pernah dia tahu dan pikirkan akan kudatangi.

Dia memang gigih, tetapi aku juga bukan orang yang sama seperti dulu. Aku tidak akan tertipu oleh kata-kata manis lagi. Tidak. Pelajaran yang dia berikan lebih dari cukup untuk mengubahku menjadi orang lain. Orang yang jauh lebih kuat. Luka dan sakit hati selalu bisa mengubah seseorang. Carut membuat hati menebal, tidak akan gampang memercayai kembali.

Dugaanku tidak salah. Menjelang makan siang, Mega kembali masuk dalam ruanganku. "Mbak Lila, Ada Pak Hendy. Dia ingin bertemu." Gadis itu tersenyum manis. "Saya sudah kasih tahu supaya nggak mengirim bunga lagi. Takut alergi Mbak Lila kambuh."

Aku tidak tahu apakah harus berterima kasih atau malah merasa kasihan gadis itu. Aku tidak ingin menempatkannya seperti pelanduk yang mati di tengah pertempuran gajah. "Persilakan dia masuk." Mengajak ribut klien penting kantor ini di ruangan yang berisi kubikel puluhan orang bukan pilihan bijak.

Sial, mengapa jantungku harus memompa darah lebih cepat hanya dengan menunggunya masuk? Aku tidak suka ini. Aku tidak suka kenyataan bahwa sosoknya masih memengaruhiku. Aku memulai terapi pernapasanku. Tidak, aku tidak akan membiarkannya mengambil alih kuasa atas diriku. Dia tidak akan bisa memanipulasi dan mengintimidasi aku lagi seperti dulu.

Aku menunggu ketukan di pintu sebelum mengangkat kepala. Dia berdiri di sana. Laki-laki paling tampan yang pernah kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Tidak ada yang berubah darinya. Dia masih setampan dulu. Masih dengan postur sempurna. Aku dapat melihat kalau kehilangan diriku tidak memengaruhi penampilannya. Apa yang kuharapkan? Aku mengejek diri dalam hati. Bahwa dia meratapiku sampai kurus kering? Atau menangisiku sampai rambut-rambut di wajahnya melebat dan matanya cekung dengan lingkaran hitam seperti panda? Khayalanku terlalu tinggi. Hanya laki-laki penghuni novel Harlequin yang bertingkah bodoh seperti itu. Bukan penjahat kelamin yang menganggap wanita tidak lebih dari sekadar guling yang bisa ditindih sampai merintih.

(Masih) Tentang Dia (Terbit) Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz