Sembilan

15.1K 1.8K 36
                                    

"Mbak Lila!" Mega memanggil namaku. Aku mengarahkan langkah menuju ke arahnya, membiarkan Dino sibuk mengurus koperku. Dia hanya mengantar ke bandara, sama sekali tidak bisa kubujuk untuk ikut.

"Sudah lama?" Aku menatap Mega, meski ekor mataku sempat menangkap bayangan laki-laki itu. Dia berdiri tidak jauh dari kami.

"Lumayan. Tinggal tunggu Mbak Lila dan kita akan boarding."

Aku menoleh kepada Dino. "Aku harus masuk sekarang." Aku tidak suka berpisah dengannya. Dia seperti perisaiku menghadapi laki-laki itu.

"Kamu akan baik-baik saja." Dino mengusap kepalaku. "Manjakan tubuh kamu dengan sinar matahari. Bersenang-senanglah, jangan terlalu banyak pikiran. Dunia ini sudah banyak yang ngurus, kamu nggak perlu ikut pusing. Main air yang banyak. Bukannya sudah lama kamu mau ke Raja Ampat?"

Aku mendengus. "Aku ke sana untuk kerja."

Dino tertawa. "Kamu nggak bosan terus mengulang kalimat yang sama?"

"Aku akan meneleponmu." Aku benar-benar enggan pergi.

"Jangan pikirkan aku. Nikmati waktumu di sana."

Seharusnya lelaki setampan Dino tidak memilih jalan hidup seperti itu. Aku tidak akan kesulitan mencintainya kalau saja dia juga menyukai perempuan. Aku pernah mencintainya dulu. Cinta monyet saat aku masih menjadi remaja tanggung yang canggung dengan perubahan tubuhku. Dia yang membuatku menyadari arti hormon perempuan yang menjadikanku centil.

Aku menggelengkan kepala, mengusir pikiran ngawur yang mampir di kepalaku. "Aku pergi sekarang," pamitku terpaksa. Mega sudah menggamit lenganku.

"Hati-hati." Dino memelukku sejenak. "O... oh, dia melihat kita," bisiknya di telingaku. Aku tahu siapa yang dimaksudnya. "Semoga dia nggak datang ke sini dan memukulku. Aku lupa membawa wajan buat kujadiin perisai untuk kepalan tangannya yang keras."

Mau tidak mau aku tertawa. Aku memisahkan diri dan melambai, berjalan menuju Mega yang sudah bergabung dengan laki-laki itu.

Laki-laki itu membawa dua orang lain bersamanya, jadi rombongan kami berjumlah lima orang. Itu membuatku lega karena aku tidak suka berinteraksi berdua saja dengannya. Tambahan tiga orang dalam rombongan bisa mengurangi kecanggungan.

Aku menghela napas kesal saat menyadari aku harus duduk bersisian dengan laki-laki itu. Tahu begini, aku memilih membeli tiket sendiri dan baru akan bertemu dengannya di Papua sana. Mengeluh sekarang akan membuatku terlihat kekanakan dan tidak profesional.

Aku tidak berniat terlibat percakapan dengan laki-laki itu. Begitu duduk dan mengenakan sabuk pengaman, aku langsung membuang pandang ke jendela di samping kananku. Hal yang berlebihan, karena dia rupanya juga tidak bermaksud mengajakku bicara.

Apa yang ada dalam pikirannya? Mengapa dia bersikap seperti itu? Di pertemuan terakhir beberapa hari lalu dia memang terlihat mengambil jarak denganku. Aku menggeleng. Astaga apa yang kupikirkan? Mengapa aku harus peduli tentang apa yang dia pikirkan? Bukankah saling berdiam diri seperti ini jauh lebih baik untukku? Namun, aku tidak bisa lantas tenang karenanya.

Sesuatu dalam hati, sesuatu yang tidak kusukai menyadarkanku akan sesuatu. Aku tidak tenang karena tidak menyukai sikap diamnya. Aku lebih suka melihatnya bersikap berlebihan seperti saat awal pertemuan kami kembali. Aku lebih suka melihatnya marah dan memukul Dino. Karena dengan bersikap seperti itu aku tahu dia masih peduli kepadaku. Aku masih berarti sesuatu baginya.

Apakah sikap itu hanyalah euforia karena telah menemukan aku yang lama menghilang? Euforia yang lantas lenyap setelah menyadari bahwa diriku ternyata tidak berarti apa-apa lagi? Ya ampun, apa yang kuharapkan? Kami sudah berpisah selama dua tahun. Dia pasti sudah kembali menikmati hidupnya tanpa gangguanku. Menikmati pelukan dari setiap perempuan yang dia inginkan. Dia melakukannya saat kami bersama. Saat kami tidak bosan bercinta sepanjang malam. Ya, dia melakukannya saat aku sedang mandi madu pernikahan kami. Lalu apa yang bisa menahannya untuk tidak melakukannya sekarang?

(Masih) Tentang Dia (Terbit) Where stories live. Discover now