Satu

47.3K 2.2K 78
                                    

Hai... untuk pemanasan sebelum open PO, MTD versi revisi aku update ulang. Ini belum sempat disunting karena revisi masih berjalan, ya. Jadi typo masih betebaran. Oh ya, novel ini akan terbit SP, jadi hanya akan dicetak sesuai jumlah PO yang masuk. Dan hanya bisa didapatkan di @belibuku.wattpad karena nggak akan buka PO di olshop lain. Jadi yang berminat, nanti bisa menghubungi akun belibuku di Instagram, line, atau di wattpad ini, ya.

Oh ya, inti cerita dan alur nggak berubah, hanya saja hampir semua dialog aku bongkar dan tulis ulang karena kali ini menggunakan bahasa yang nggak baku biar lebih enak bacanya. Narasi juga bertambah. Jumlah part? Bertambah dong, hanya saja bagian yang nambah nggak akan di-posting di wattpad. Khusus untuk versi cetak aja. Happy reading, Gaeesss...

**

Aku bergegas masuk kafe sambil mengibaskan jaket panjang yang terkena tetes gerimis. Hujan tak kunjung reda sejak semalam. Pagi yang muram untuk memulai hari. Aku terlambat membuat sarapan, dan kafe langganan di dekat kantor ini menjadi tujuan pertama mengisi lambung. Aku tipe morning person, jadi ya, terlambat bangun lumayan menyebalkan.

Jadwalku hari ini padat, dan memulainya dengan perut kosong bukan pilihan bijaksana. Aku punya pertemuan sebelum jam makan siang. Bosku mengulang dan menekankan kata 'penting' beberapa kali sejak memberiku tugas menemaninya mewakili perusahaan melakukan pertemuan ini.

Aku mengerti kekhawatiran bosku, karena proyek yang kutangani ini bernilai sangat besar. Jujur, penunjukkanku saja sudah cukup mengejutkan bagi diriku sendiri. Aku baru beberapa bulan pindah ke kantor pusat ini setelah dua tahun lebih bekerja di kantor cabang Surabaya. Aku tidak punya ekspektasi lebih saat menyerahkan desain hotel yang kukerjakan untuk ditunjukkan kepada klien. Kupikir gambarku hanya pelengkap karena senior-seniorku pasti punya konsep lebih bagus dan matang untuk klien yang katanya sangat penting bagi kantor kami.

Namun secara mengejutkan, klien itu malah memilih desainku. Proyek hotel tepi pantai di Waisai, Raja Ampat. Dan sebentar lagi aku akan melakukan pertemuan pertama dengan mereka. Di hari dengan cuaca yang lembap. Semoga ini bukan pertanda tentang hasil buruk dari pertemuan nanti. Aku tidak percaya ramalan ataupun mitos yang mengaitkan antara cuara buruk dengan kesialan, tetapi entahlah, sesuatu tentang hujan selalu membuatku gelisah.

Ada kenangan tentang hujan yang selalu berhasil membuatku harus menarik napas panjang dan dalam untuk mengusir rasa panas pada mata. Panas yang memang tak pernah sampai menjelma tangis, namun selalu melemparku pada ingatan yang akan membuatku memegang dada, seolah bersiap menghalau perih membelah hati. Luka yang tak pernah berhasil kusembuhkan setelah merayap dan merangkak membuka lembar hari. Kenangan yang tak pantas hidup di ingatan namun masih berdetak di sanubari.

"Yang biasa, Mbak?" Pertanyaan itu mengembalikan aku ke dunia nyata. Aku menatap pelayan yang sudah akrab dengan mataku sejak menjadi pengunjung tetap kafe ini beberapa bulan lalu.

"Ya, yang biasa." Itu berarti kopi hitam. Pekat yang pahit. Aku sudah meninggalkan semua varian kopi yang manis sejak... entahlah, mungkin sejak aku kehilangan berbagai hal yang memaniskan hidupku.

Aku mengembuskan napas kesal. Ini benar-benar terlalu pagi untuk sebuah kenangan sepahit kopiku. Tidak, aku tidak boleh membongkar memori di hari yang sangat penting, bukan hanya untuk kelangsungan karierku, tetapi juga untuk kantor tempat aku menggantungkan hidup.

Aku menerima gelas kertas yang disodorkan pelayan dan berlalu secepat mungkin ke kantor. Aku harus mengambil contoh maket yang sudah kuselesaikan setelah lembur semalam. Juga menunggu bos besar yang akan menyertaiku dalam presentasi ini karena kami akan berangkat bersama.

(Masih) Tentang Dia (Terbit) Where stories live. Discover now