Akhirnya, pencarianku tertuju pada ruangan yang lain setelah kusadari tak ada hasil yang memuaskan dari kamar perempuan itu. Dapur, kamar tidur yang lain, hingga akhirnya aku menemukan benda sialan yang sangat tak ingin kulihat secara langsung.

Dalam toilet, bau amis menyerbak dengan begitu luasnya, memenuhi seisi ruangan hingga aku harus menutup hidung dengan salah satu lenganku yang tak memegang pistol. Ember plastik penuh berisi darah menjadi sebuah ornamen dengan tingkat keestetikaan yang sangat tinggi—mungkin begitu menurut Dokter Ryan. Ember itu diletakkan pada ujung toliet sehingga sudut yang tepat.

Aku dapat melihat genangan itu, berwarna merah pekat hampir menjadi coklat dengan bau yang benar-benar tak dapat kutahan. Aku keluar, hampir muntah, menapakkan kakiku di luar ruangan sambil menahan salah satu lenganku pada dinding. Bebauan itu masih menusuk hidungku, seolah-olah darah pada ember itu adalah buah durian dengan bau yang menusuk hidung—tentu saja dengan bau yang berbeda. Beberapa kali aku batuk, menahan diri agar tak muntah. Makanan yang telah tersimpan dalam lambungku seolah naik, melewati tenggorokanku dan hampir memasuki mulutku sebelum aku memekik dan akhirnya seluruh makanan itu kembali pada tempat yang seharusnya.

Tidak salah lagi, memang Dokter Ryan lah pelakunya. Brengsek, kenapa aku bisa seteledor itu?

Pencarianku terus berlanjut. Kini, bukan hanya untuk mencari Dokter Ryan, melainkan istrinya yang mungkin juga diikat di suatu tempat di rumah ini. Aku tidak menganggap perempuan itu terlibat. Hampir tidak mungkin biarpun sebenarnya segala kemungkinan bisa saja terjadi. Namun, di tengah pencarianku, ponselku berbunyi, menandakan sebuah pesan yang masuk. Wijaya memberitahu alamat rumah sakit yang ia datangi untuk merawat gadis itu. Katanya, gadis itu tidak mengalami luka secara fisik, tetapi keadaan psikologisnya sedang terganggu. Ya, walaupun sebenarnya aku tahu itu, padahal aku hanya melihatnya secara mata telanjang, bukan atas dasar kegilaan sehingga aku menjadi seorang ahli untuk menganalisis keadaan psikologis seseorang. Memang, aku sendiri dituntut untuk mengetahui ilmu semacam itu, biarpun aku tak mengakui bahwa aku bukan seorang ahli. Aku memang bukan seorang ahli.

Dalam selang waktu yang tak begitu lama, akhirnya Wijaya kembali, melihatku dalam keadaan yang memalukan karena tak menemukan benda-benda lain selain sebuah ember yang terisi penuh oleh darah. Hingga akhirnya kuajak Wijaya untuk melihat benda yang sama, membuatnya melangkah secara pasti karena rasa penasaran yang tinggi. Kemudian, dia melakukan reaksi yang sama denganku. Keluar dengan segera dari kamar mandi itu sambil menutup hidungnya, batuk, menahan muntah yang kuyakini telah berada pada kerongkongannya.

"Itu menjijikkan," komentarnya, masih berusaha menahan makanannya agar tak keluar lagi dari mulutnya. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya. Apakah tadi pun aku terlihat seperti itu?

"Menurutmu itu darah korban?"

"Siapa lagi?"

Kuputarkan bola mataku dua kali. "Rumah ini hanya memiliki satu kamar mandi. Kurasa tidak mungkin Dokter Ryan menyimpan benda itu selama satu bulan. Kurasa itu darah korban terbarunya."

"Bagaimana mungkin dia bisa menghirup bau amis sambil melihat gumpalan darah yang banyak seperti itu tanpa merasa ingin muntah?"

"Mungkin karena dia seorang dokter." Kembali kukantungi pistolku, merasa tak akan ada bahaya yang menyerang diriku—atau kami untuk sekarang ini. "Wijaya, apa kau berpikir istrinya pun terlibat?"

"Memangnya kenapa, Pak?"

"Aku tak menemukannya di rumah ini. Perasaanku mengatakan dia tak terlibat, tetapi logikaku mengatakan dia pergi bersama Dokter Ryan, meninggalkan rumah ini dan anaknya." Aku menghela napas. "Sialannya, aku tak tahu harus memercayai yang mana."

"Fokus kita saat ini mungkin hanya untuk Dokter Ryan saja, Pak. Kita ambil pilihan yang telah pasti."

Aku mengangguk. "Bagaimana dengan gadis itu? Seingatku dia anak dari Dokter Ryan. Apa yang terjadi padanya?"

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Where stories live. Discover now