15. Mayat Keempat

Start from the beginning
                                    

"Orang yang menjual rumah saya?"

"Mayatnya ditemukan di rumahnya, dikubur oleh seseorang."

"Apa?" Dokter Ryan tersentak kaget. Wajahnya menatap tak percaya. "Kenapa?"

"Sedang kami selidiki. Saya mohon jangan beritahukan pada siapapun. Sebenarnya belum tentu benar mayat itu adalah Ferdinand, tetapi saya rasa benar adanya."

"Saya tidak percaya."

"Ya, saya pun tak percaya."

Mulutnya kaku, tak mengeluarkan sepatah kata pun hingga aku memutuskan untuk berpamitan dengannya, juga dengan istrinya, lalu pergi meninggalkan rumah itu dan segera menghubungi Wijaya.

Tetesan hujan mulai membasahi kota ini. Langit yang sedari tadi mendung seolah tak kuasa menahan beban berat hingga menjatuhkannya, membuat bajuku terkena percikan air, membasahinya biarpun tidak basah kuyup.

Lalu, begitu Wijaya mengangkat panggilanku, tanpa sedikitpun pembukaan, segera kuperintahkan dirinya, "Kita akan memeriksa kembali rumah Dokter Ryan. Kalau kau punya tangga, bawalah, itu akan sangat membantu."

===

Akhirnya, hujan deras membasahi kota ini, tetesan demi tetesan air jatuh, menimpa berbagai benda pada permukaannya, termasuk atap mobilku juga mobil Wijaya, membuat kebisingan yang tak kusukai. Lalu, dengan jaket, kututupi seluruh bagian kepalaku, menghalau percikan air yang dapat membasahi rambutku dan membuatku pusing. Sambil berjinjit, kudekati mobil Wijaya, membuka bagasinya begitu Wijaya keluar dari bangku pengemudi, mengambil sebuah tangga kecil yang akan kugunakan nanti.

Mobil-mobil yang berkendara dengan kencang menciprati tubuhku dengan air, membuatku sedikit menggeram, hampir berteriak pada para pengemudi itu sebelum menyadari bahwa tindakan itu akan sia-sia—mereka tak akan memedulikannya!

Dengan segera, kubawa tangga ini, sedangkan Wijaya terlalu sibuk untuk mengunci kendaraannya sebelum akhirnya ia pun berlari kecil—sedikit berjinjit—menyusulku, lebih cepat dariku yang sedang kelelahan akibat membawa barang yang berat ini. Kemudian, dari sisi yang aman—tanpa cipratan air—ia berusaha untuk menarik benda yang tengah kupanggul, hingga akhirnya kami berada di posisi yang aman.

Kubuka tudung jaketku, kemudian melepaskan resletingnya, menanggalkan seluruh bagian jaket dan memerasnya. Aku tak suka suasana lembap yang melingkupi tubuhku, membuatku kedinginan, sedangkan Wijaya tampak anteng dalam keadaan basah kuyup. Lalu, segera setelah kukeringkan jaketku ini, kuambil kunci mobil yang tersembunyi di dalam kantung celanaku, mengunci mobilku sendiri.

"Aku tidak membenci hujan, aku hanya membenci hujan yang turun di saat yang tidak tepat," gerutuku, sedangkan Wijaya hanya tertawa melihat kelakuanku.

Akhirnya, kami kembali pada tempat ini. Mungkin sudah ketiga atau keempat kalinya bagiku, tetapi kurasa masih menyimpan sejuta misteri yang belum terungkap. Bahkan, aku tak merasakan suasana mistis seperti yang awal kurasakan, seolah-olah tempat ini telah menjadi rumah kedua bagiku. Sedangkan Wijaya, ia tampak kedinginan akibat tubuhnya yang basah kuyup, ia tak menggigil, tetapi gemertakan giginya tak dapat disembunyikan. Namun, seolah tetap tak peduli, ia mengikutiku memasuki rumah ini, segera menuju lantai atas untuk kembali pada atap yang bermasalah.

Pemandangan yang sama terlihat seperti saat terakhir kutinggalkan. Pintu yang terintegrasi dengan atap itu menggantung, terbuka, membuatku dengan mudah mengetahui lokasinya dan meletakkan tangga ini, yang tak begitu tinggi tetapi tetap memabntu tepat di bawahnya, memosisikannya sebaik mungin sehingga aku tak perlu memanjat dengan susah payah seperti terakhir kali kukunjungi atap itu.

Aku baru ingat bahwa Wijaya belum pernah mengunjungi ruangan itu, aku hanya menceritakannya, tetapi ia belum pernah melihatnya secara langsung.

"Ruangan apa itu?" tanyanya ketika aku sedang bersusah payah memindahkan seluruh beban tubuhku pada puncak tangga itu.

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Where stories live. Discover now