[ 2 ]

3.7K 158 3
                                    

Aku terbangun saat mendengar suara gedoran pintu yang cukup kuat dari luar kamarku. Malas bangun, aku pun berteriak, "Masuk!!". Sial, siapapun yang berani melakukannya, dia telah mengacaukan hari minggu ku.

Mila berdiri di depan pintu kamarku dengan pakaian santai favoritnya, skinny jeans dan kaus berleher V berwarna pink pucat. Sudah menjadi kebiasaannya menggedor pintu kamarku dengan tidak sopan. Seharusnya aku sadar dari awal.

"Kamu tidur kayak kebo!" Mila menghampiriku sambil tertawa lebar. Aku melirik jam Winnie The Pooh yang tergantung di dinding kamarku. Ah, baru jam sepuluh pagi.

"Kamu ngerampas jadwal bangun siangku ya. Duduk Mil, mau ngapain?" Aku beranjak dari tempat tidur sambil menyingkirkan selimut yang menindihku. Mila langsung menghempaskan diri di atas tempat tidur layaknya rumah sendiri.

"Fi, aku pinjem novelmu lagi boleh nggak?"

"Yang kemarin kamu pinjem kan belum selesai."

"Nih aku balikin, ceritanya kurang nyentuh. Aku nggak sampe habis bacanya. Aku pinjem yang lain aja ya."

"Ya."

Mila langsung berjalan menuju rak novelku dan berjongkok berjam-jam di sana. Aku kembali bergelung dalam selimutku untuk menghalau dinginnya AC. Hampir dua jam Mila berkutat di depan rak novelku sampai akhirnya ia beranjak mendekatiku.

"Aku pinjem tiga ya Fi, boleh kan?"

"Bawa aja Mil."

Mila memasukkan novel-novelku ke dalam tasnya. Ia merogoh-rogoh tasnya sejenak seperti sedang mencari sesuatu. Kemudian Mila mengeluarkan lunch box berwarna pink dan menyerahkannya padaku. Kira-kira makanan apa lagi ini? Terlalu sering Mila memberiku makanan buatannya sendiri.

"Puding coklaaaaat." Mila merentangkan tangannya dengan bangga. Aku membuka lunch box itu dan melihat puding berwarna coklat susu berbentuk Hello Kitty. Ku coba sedikit dan ternyata enak, tidak seperti biasanya.

"Enak Mil." Ku acungkan jempol.

"Hehehe thanks ya Fi, besok aku buatin yang lain deh."

"Iya, tapi jangan kemanisan kayak kue yang kemaren."

"Iya-iya nggak bakal deh. Eh Fi, aku pulang dulu yaa, udah lama banget di sini nggak enak sama ibu mu. Thanks novelnya ya Fi, ku pulangin kapan aja ya hehe."

"Santaaaii."

Mila mengacak rambutku yang berantakan menjadi semakin parah. Dia keluar dari kamarku sambil menjulurkan lidah. Mila memang selalu seperti itu, aku memakluminya.

***

Aku memandang hamparan kebun teh yang terbentang luas dihadapanku. Sangat mengagumkan. Tak ada yang lebih indah dari pemandangan alam pegunungan. Aku bersyukur bisa tinggal di Kota Salatiga, di lereng timur Gunung Merbabu. Tempat yang menyajikan pemadangan indah menyejukkan mata. Aku mengayuh sepedaku menuju kebun teh, lalu turun sejenak untuk menghirup udara sore yang sejuk.

"Fidela, sendirian aja." Jo mengagetkanku, membuatku hampir jatuh ke dalam semak dauh teh.

Ia berdiri disampingku sembari menuntun sepedanya. Tangannya agak gemetar, wajahnya pun terlihat pucat. Aku segera menyadari ada hal yang tidak beres dengan Jo sore ini. Ia meletakkan sepedanya di dekat batu gunung dan ikut duduk disebelahku sembari menikmati pemandangan alam berlatar hamparan daun teh dan kebun sayur-sayuran.

"Jo, kamu sakit?" Tanyaku Khawatir.

"Pemandangan disini keren banget ya." Jo mengalihkan pembicaraanku.

"Jo?" Dia tidak menjawab.

"Jo!!!" Pekikku kemudian. Kesal sekali rasanya, dari tadi aku bertanya dia tidak menghiraukan.

Jo menatapku dan aku menyentuh pipinya. Badannya panas, aku yakin sekali bahwa dia sedang sakit. Aku menyentuh dahinya dan dibagian sana suhu tubuhnya semakin terasa. Jo diam sambil menatapku.

"Jo kamu sakit? Badanmu panas. Ya ampun, seharusnya kamu nggak keluar rumah!" Aku menatapnya khawatir. Banyak hal yang ku khawatirkan tentang Jo. Fisiknya sering lemah tiba-tiba, aku merasa harus selalu menjaganya. Walau dia tersenyum sekalipun, aku yakin saat ini dia sedang tidak baik-baik saja.

"Aku nggak apa-apa Fi."

"Jangan kayak gitu, ayo kita pulang!" Aku beranjak dan menarik tangannya, tetapi Jo mencegahku dan menarikku untuk kembali duduk.

"Udahlah Fi. Aku sengaja mau cari udara seger di luar. Aku pulang terus minum obat nanti juga bakal sembuh sendiri kok. Aku nggak apa-apa." Jo mencabut daun teh dihadapannya dan meremasnya hingga kusut.

"Tapi Jo, badanmu panas." Aku memegang kedua pipinya dan Jo memejamkan mata. Aku merasa bertanggung jawab atas pria ini. Walaupun dia sering sakit tapi aku tidak akan pernah meninggalkannya. Jo sahabatku yang paling baik. Dia selalu ada di saat aku butuh bantuannya. Tetapi sering kali aku merasa berdosa karena aku tak selalu ada di saat ia membutuhkanku. Lebih tepatnya aku tidak tahu kapan Jo membutuhkan bantuanku, dia tak pernah mengatakan hal itu.

Hari semakin sore saat aku mengalihkan topik pembicaraan menjadi topik tentang pelajaran di sekolah. Jo tetap tertarik membahas tentang pelajaran SMA walaupun dia sudah kuliah. Jo banyak tahu hal-hal yang belum ku ketahui dan ia sering menceritakannya.

Aku melihat langit telah berubah warna menjadi semburat merah, menandakan matahari sebentar lagi akan tenggelam.

"Jo." Aku menggenggam tangannya yang hangat, Jo melirikku. "Ayo kita pulang, kamu harus banyak istirahat." Aku tersenyum padanya dan dia juga tersenyum padaku. Kami menuntun sepeda kami masing-masing. Aku sudah hendak meluncur ke jalan ketika Jo memanggil namaku.

"Fidela?"

"Iya?"

"Aku sayang kamu." Ujar Jo.

Oh ya ampun, aku lupa mengucapkan salam perpisahan yang telah kami sepakati.

"Iya Jo, aku juga sangat sayang kamu."

***

ANGIN HUTAN PINUS [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now