[ 1 ]

8K 256 4
                                    

Jo mendekatkan wajahnya dengan wajahku, alisnya bertaut. Ia memperhatikan setiap inci raut wajahku. Jarak wajah kami mungkin hanya hitungan senti, tapi aku tak peduli. Aku memperhatikannya sekali lagi. Dahinya berkerut samar seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu ia mendesah pelan dan menarik kembali wajahnya.

"Kamu bohong lagi ya?" Jo bergumam pelan.

"Ha?"

"Aku tau kamu nggak jujur."

"Tapi aku-"

"Kamu suka sama dia kan?"

Aku terdiam dan mengangkat bahu. Aku tak tahu. Ini perasaan yang aneh. Aku bimbang antara ingin berkata jujur atau tidak. Jo selalu mengetahui hal-hal yang belum ku ceritakan. Banyak orang yang mengatakan bahwa dia punya indra ke-enam. Aku tidak percaya hal itu, aku hanya heran mengapa dia gampang sekali membaca pikiranku. Dan pikiran orang lain juga. Mungkin apa yang dikatakan teman-teman ada benarnya.

"Kamu baca pikiranku ya?" Tanyaku penasaran.

"Nggak. Aku cuma bisa baca emosi orang lain. Aku bisa ngerasain apa yang orang lain rasain. Aku tahu orang yang lagi sedih walaupun dia senyum, aku tahu orang yang lagi bohong dilihat dari gerak bola matanya. Sebenarnya semua orang bisa kayak gini kok. Tapi jujur, aku nggak bisa baca pikiran orang lain."

Sepasang mata coklat Jo menatapku lekat. Mata itu mengisyaratkan bahwa Jo tidak berbohong. Ia mengatakan hal yang sebenarnya.

"Jadi itu alasannya kamu tau aku bohong?" Aku mendekatkan wajahku padanya.

"Mulut bisa bohong, tapi mata nggak bisa."

Jo tersenyum, aku suka memandangnya seperti ini. Sayang, kami tidak satu sekolah lagi. Jo sudah kuliah sedangkan aku masih kelas dua belas. Beda umur kami hanya dua tahun, cukup dekat bukan?

Aku baru saja bercerita pada Jo tentang Fariz Adrino yang akhir-akhir ini sedang dekat denganku. Aku kenal Fariz sejak kelas sepuluh dan kami sering bertegur sapa. Apalagi sejak aku pindah ke ekskul yang sama dengannya, ekskul pra-olimpiade geografi, kami pun semakin akrab tak terpisahkan walau lain kelas.

Sepulang ekskul, Fariz sering mengantarku pulang ke rumah. Lalu kami berbicara mengenai banyak hal sepanjang jalan. Saat-saat seperti ini membuka kesempatan bagiku untuk lebih mengenal Fariz. Dia menyenangkan, dan aku tak pernah bosan.

"Fi, mau sampai kapan kamu bohong sama aku? Nggak ada gunanya." Suara Jo membuatku sadar dari lamunan. Dia cemberut, wajahnya terlihat lucu sekali. Aku gemas dan mencubit kedua pipinya.

"Jo, kamu lucu banget uuuuuuuuh."

"Ayolah Fi! Aku serius."

"Oh, jadi aku harus cerita jujur sama kamu sampai ke detail-detailnya gitu?" Aku mengangkat sebelah alisku.

"Untuk apa bohong? Kamu nggak percaya sama aku?" Nada bicara Jo terdengar kecewa, padahal maksudku tak ingin membuatnya seperti itu. Aku membenarkan letak kacamatanya dan memandang sepasang mata coklat yang tenang dan damai itu.

"Oke, aku bakal cerita sama kamu. Duduk sini."

Jo beranjak dari hadapanku dan duduk di sampingku. Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. Entah mengapa aku selalu merasa nyaman bila seperti ini dengan Jo. Tubuhnya selalu harum, aku suka dekat-dekat dengannya.

Lalu aku melanjutkan ceritaku tentang Fariz di awal tadi. Aku suka cara Fariz menatapku, aku suka bila Fariz sering mengajakku makan di luar, aku suka saat jalan berdua dengannya di koridor sekolah, dan aku suka semua hal yang ku lakukan bersama Fariz.

Aku sering jalan bertiga bersama Mila, teman dekatku. Tapi terkadang saat aku sedang bersama Fariz, Mila lebih memilih sendiri. Sebagai sahabat yang baik, Mila mengerti apa yang sedang ku rasakan. Oh iya, Fariz juga banyak mengorbankan waktunya untukku, aku merasa jadi orang spesial dalam hidupnya.

"Aku nggak ngelarang kamu jatuh cinta sama siapa aja. Tapi aku bakal nasehatin kamu kalau kamu milih orang yang salah, selebihnya terserah kamu Fi." Jo mengusap rambutku sambil tersenyum.

"Dia orangnya baik Jo."

"Kamu yang lebih kenal dia sedangkan aku cuma sebatas tau. Kamu harus bisa baca perasaannya. Tenang aja, kalau kamu patah hati aku ada di sini. Semua ceritamu pasti ku dengerin kok."

Aku melirik Jo yang sedang mendengarkan musik dari headset yang ia pasang hanya di telinga sebelah kanan. Headset satunya lagi ia buka untuk mendengar curhatanku. Betapa beruntungnya aku mempunyai sahabat seperti Jo, kakak kelas keren yang mau datang menemuiku dengan sukarela hanya untuk mendengar keluh kesahku.

"Terima kasih Jo, kamu bener-bener sahabat yang baik." Aku menatap sepasang matanya yang juga menatapku. Mata Jo berwarna coklat gelap yang menenangkan. Sangat indah dan aku suka sekali melihatnya.

"Sama-sama Fi. Kapan ya aku punya mata hitam bening kayak punya kamu?" Tanya Jo sambil memandang mataku dalam-dalam.

"Huh, seharusnya aku yang mau punya mata kayak kamu Jo! Bagus banget! Nggak bosen ngeliatnya." Ujarku bercanda.

"Oh iya? Aku bisa ngeliatin kamu tiap detik kalau kamu mau." Jo tersenyum lebar, ia malah mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Aku jadi gemas memandang wajah imutnya dari dekat seperti ini. Aku melepas headsetnya dan memeluk tangan Jo.

"Jo?"

"Hmmm?"

"Aku sayang kamu." Sudah sering aku dan Jo mengatakan hal ini. Pasti dia akan menjawab dengan kalimat yang sama. Jo melepaskkan pelukan tanganku dan menggantinya dengan rangkulan hangat dibahuku. Aku tersenyum memandangnya.

"Aku juga sayang kamu, Fidela."

***

ANGIN HUTAN PINUS [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang