Wattpad Original
Mayroong 5 pang mga libreng parte

A Date (1)

135K 13.1K 577
                                    

Fachri

Hari ini aku dipaksa oleh Mama untuk jalan berdua saja dengan Indira. Ke mana saja, dan cuma berdua.

Ide gila, kan?

Kata Mama, kami boleh keluar seharian. Yang penting, sebelum jam 11 malam aku harus mengantarkan Indira kembali ke Setia Budi.

Yang membuatku semakin kecewa, Tulang Ervin malah nggak menolak ide itu. Dia bilang, dia percaya padaku. Aku tidak akan menyakiti anak gadisnya.

Maka, sekarang, di tanggal 1 Januari 2018, aku mulai hari pertamaku di tahun ini dengan ngedate bersama calon istriku. Ini benar-benar di luar perkiraan. Aku jadi semakin penasaran dengan kejutan apa lagi yang akan datang padaku di tahun ini.

Aku melirik gadis yang tengah duduk di sebelahku. Dia mengenakan-aku nggak tahu bentuk bajunya apa-yang pasti sangat terbuka, bahu dan lehernya terekspos jelas. Malah dia memilih mengikat rambutnya lagi.

Dia memadukan atasannya itu dengan celana pendek, mungkin cuma setengah pahanya.

Ya Tuhan, maafkan mataku yang kini sudah pasti dipenuhi dosa. Apa Indira memang sudah terbiasa berkeliaran dengan pakaian seperti itu?

Dan, wait. Dia sepertinya nyaman-nyaman saja. Beda denganku yang berulang kali menelan ludah.

"Sepi banget sih Medan. Heran," dia berceloteh dengan mata yang sibuk memandangi lewat kaca jendela mobil.

Aku mengangkat bahu. "Tahun baru begini, yang rame ya Berastagi atau Prapat."

Dia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kita mau ke mana? Jangan muter-muter nggak jelas gini. Bosen tahu di mobil seharian. Ke mana, kek. Cari makan, tempat duduk yang cozy, apa kek."

Yang kulakukan hanya berdeham singkat. Demi Tuhan, dia cerewet sekali. Persis mamaku.

Apakah semua perempuan bermarga Siregar memang secerewet ini, ya? Tanpa pandang generasi, maksudku.

"Yaelah, gue ajak ngomong, malah diem aja. Situ nggak sedang sariawan atau sakit gigi, kan?"

Dia sepertinya mulai jengkel.

"Ya sudah, kita cari makan. Ke mall saja."

Aku berencana mengajaknya makan di Nelayan. Pasti dia suka. Aku belum pernah bertemu orang yang bilang makanan di Nelayan nggak enak.

"Gitu, dong. Ngomong, Mas. Ngomong. Hubungan lancar kalau komunikasi lancar," sahutnya lagi.

Aku menyeringai. "Jadi kamu berharap hubungan kita lancar?"

"What?!" teriakannya bikin kupingku sakit. Badan saja yang kurus. "Lo jangan kegeeran, ya. Asli, lo tuh ngeselin banget. Dari awal juga kita berdua tahu siapa yang paling menolak ide gila ini."

Aku mengelus dada dengan tangan kiri. Bukan cuma kupingku yang sakit, jantungku juga sedikit bermasalah. Kukira cuma mama yang kalau ngomong bikin organ tubuhku melemah, ternyata ada titisan lainnya.

Karena jalanan sepi, kami cuma butuh waktu hampir dua puluh menit untuk sampai Sun Plaza. Itu pun sudah termasuk dengan cari parkirnya. Senang sekali hidup tenang seperti ini.

Kami berjalan beriringan menuju mall. Ada jarak yang tercipta di antara kami, seakan-akan memang kami tidak ada niat sedikit pun untuk berusaha lebih dekat.

Mata cokelat Indira memindai seluruh isi mall. Mungkin dia mau membandingkannya dengan Grand Indonesia ataupun Senayan City. Atau mungkin dengan mall tempatnya bekerja, Plaza Indonesia.

Dia mengikutiku saat aku memasuki lift. Aku menekan tombol 3. Ada beberapa anak muda di dalam kotak kaca itu. Kutebak, mereka sekitar 16-17 tahun.

Mata mereka mengerling jail ke arah Indira. Indira yang merasa risih pun memilih mendelikkan matanya ke arah mereka, membuat sekelompok anak muda itu tertawa cekikikan.

DenialTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon