Wattpad Original
There are 4 more free parts

A Date (2)

12.3K 996 8
                                    

Jam sudah menunjukkan setengah enam sore. Kami keluar dari mall. Aku berencana mengajaknya makan durian. Tapi sebelumnya, aku memberhentikan mobilku di sebuah masjid besar di Jalan Abdullah Lubis.

Sholat maghrib dulu. Kewajiban harus tetap dipenuhi.

"Saya sholat dulu," ucapku sambil mengambil kopiah yang terletak di jok belakang.

"Lo nggak ngajak gue sholat juga?" tanyanya polos.

Aku mengenakan kopiah itu. "Kamu mau sholat juga? Kebetulan di mobil ini ada mukenanya Mama. Pakai aja."

Dia menggeleng sambil tersenyum. "Gue lagi dapet."

"Ya sudah. Kamu tunggu di mobil kalau begitu," ucapku sambil mengganti sneakersku dengan sendal jepit.

"Lo nggak niat banget ngajak gue sholat," ungkapnya sambil bersedekap sok imut.

Aku tersenyum miring. Kutanggapi, "Kamu sudah dewasa. Tahu mana yang wajib kamu lakukan mana yang tidak."

Setelah berkata begitu, aku meninggalkannya di dalam mobil sendirian.

***

Mobilku ternyata tidak dikunci. Bahaya ini. Nekat sekali Indira di mobil sendirian tanpa mengunci pintu.

Aku baru akan memarahinya saat kulihat dia sudah terlelap. Tangan kanannya menggenggam ponsel.

Mobilku sepertinya aman. Tak ada satu barang pun yang hilang. Kubayar parkir, lalu kulajukan mobil menuju daerah Setia Budi.

Lebih baik diantar pulang saja. Kecapekan sepertinya. Indira bahkan tidak sadar bahwa mobil ini sudah bergerak.

Aku bahkan mengecilkan volume radio dari audio player di mobil. Kalau dia diam begini, sebenarnya dia tidak terlalu menyebalkan.

Tapi, ya, namanya juga perempuan. Cuma saat tidur aja nggak ngoceh-ngoceh bikin sakit kuping.

Indira terbangun saat kami sudah berada di kawasan Dr. Mansur. Dia mengucek-ngucek matanya.

"Kita di mana?" tanyanya dengan suara sedikit parau, khas baru bangun tidur.

"Sudah dekat Tasbih," jawabku singkat.

Dia mengangguk-angguk. "Nggak jadi makan durian?"

"Next time aja lah. Saya juga sudah sering makan durian. Kalau kamu mau, nanti saya belikan saja. Bawa ke rumah opung kamu. Sekalian untuk keluarga kamu," aku hanya berusaha memperlakukannya dengan baik dan sopan.

Dia mengecek ponselnya kemudian. Sesekali dia terkikik membaca sesuatu yang ada di perangkat elektronik itu.

Aku tidak mau ambil pusing.

Mobilku akhirnya memasuki kawasan Tasbih. Rumah opung Indira tidak begitu jauh dari gerbang utama. Gampang diingat.

Begitu tiba, aku dikejutkan dengan kehadiran Pajero hitam di rumah itu.

Itu kan mobil Ayah. Kenapa ada di sini?

Pertanyaanku akhirnya terjawab saat kulihat Adam keluar dari pintu rumah itu diikuti oleh Ibas, adiknya Indira.

Aku memarkirkan mobil di luar. Kami turun dari mobil. Aku membawa kantong belanjaan Indira.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam," jawab mereka semua serempak.

Mereka yang kumaksud adalah keluarga besar Indira plus keluargaku. Para wanita baik tua maupun muda di sana kini mengerling jail ke arah kami berdua.

Tidak usah ditanggapi. Itu yang selalu kulakukan.

"Ada yang baru belanja, nih," sahut mama dengan senyum liciknya.

Yang lain ikutan tertawa. Bahkan ayah dan tulang Ervin menyunggingkan senyum.

Mungkin mereka berpikir kami benar-benar saling menyukai dan sangat mendukung ide perjodohan ini.

"Iya nih, Bou. Dari Sun Plaza," jawab Indira sumringah.

Aku menoleh padanya dengan tatapan heran. Apa gadis ini tidak sadar bahwa kalimat tadi hanya sebuah pancingan?

"Seru, dong," kali ini yang nyahut Kak Eka.

Indira menunjuk kantong belanja yang sedang kutenteng. "Bou tahu nggak, aku dibeliin baju lho sama Fachri. Baju, celana, kalung. Wah, emang the best nih anak laki-lakinya Bou," lanjutnya lagi.

Aku cuma bisa menatapnya sambil menahan geram. Ini anak kenapa bisa polos begini, ya?

"Padahal aku nggak minta dibayarin, lho, Bou. Suwer," dia masih melanjutkan ocehannya.

Kulihat wajah Nangtulang Ayu yang seakan meminta maaf padaku. Dia berkata, "Iin ngerepotin kamu banget, ya, Fachri? Maaf ya, Nak. Nggak biasa-biasanya Iin begitu."

Aku langsung menggeleng. "Oh, nggak merepotkan sama sekali kok, Nangtulang. Kebetulan saya ada sedikit rezeki."

"Mama kenapa minta maaf? Emang Fachrinya yang nawarin untuk bayarin itu semua, kok. Ya kan?" dia menarik-narik lengan kemejaku.

Aku mengangguk pasrah sambil memasang senyum terpaksa.

"Nggak papa, Yu. Emang tugasnya laki-laki itu," jawab mama lagi.

Indira menarik kantong belanja dari tanganku. Dia lalu berkata, "Aku letak di kamar dulu, ya, semuanya."

Dia meninggalkanku yang kini berdiri kaku di ruang tamu. Ayah mengajakku untuk duduk di sebelahnya. Dia menepuk-nepuk bahuku, entah apa sebabnya.

"Ke mana aja, Bang?" tanya Kikan dengan tatapan ingin tahu.

"Keliling kota Medan sebentar, ke mall. Makan, belanja. Mau ke Ucok, Indiranya ketiduran," jawabku sejujur-jujurnya.

Mereka mengangguk kompak.

"Tenang aja, Bang, sebelum ke sini, Bang Malik udah beliin kita semua durian, kok. Rencananya kita mau makan malam dulu, baru deh pesta durian di taman belakang. Ya kan, Nangtulang?" ucap Kikan pada mama Indira.

Wanita awal lima puluhan itu mengangguk.

"Iin tidak merepotkanmu kan, Fachri?" tanya Tulang Ervin padaku.

"Sama sekali tidak, Tulang."

"Alhamdulillah."

Tak berapa lama, Indira datang dengan pakaian tidurnya bermotif hamtaro. Cukup tertutup, atasan lengan pendek dan celana panjang hingga semata kaki.

Lalu, tanpa bisa dicegah oleh Kak Eka, putranya yang masih kecil sekali, Adam, sudah berlari ke arah Indira lalu merengek minta digendong.

Para anggota keluarga tertawa. Indira lalu mengangkat tubuh tambun itu, menciumi pipinya, membuat Adam tertawa kegelian.

Sejak kapan Indira dan Adam akrab? Setahuku, Adam bukan tipe anak-anak yang suka dekat dengan orang asing.

Adam mengoceh-ngoceh kalimat yang tidak jelas, mengundang gelak tawa dari orang-orang yang ada di ruang tamu ini.

"Adam masih kecil udah kenal sama cewek cantik ya, Kak Eka," seloroh Indira.

Kak Eka dan Bang Malik tertawa.

Indira sepertinya benar-benar memiliki level narsisme di atas rata-rata.

Yang benar saja. Apa gadis seperti ini benar-benar cocok denganku?

***

DenialWhere stories live. Discover now