4. P̷̡͈͇̟͎̭̗̱̬̹̊̀̚̕u ̵́͆̓̊̑̈́̋̄̀̌̚͠͠z̬̆z ̷̨͕̣̈́͋́͋̈͌̚l ̶̢̨̬͇̼͈̠̲̫̓̐̌͝e͉̞̼

Start from the beginning
                                    

Wanita itu membersihkan bagian depan ruangan ini, membenarkan taplak meja dan menyingkirkan butiran-butiran debu dengan tangan kosong. Aku membantunya, walaupun aku tak merasa membantunya, sedangkan Wijaya telah duduk terlebih dahulu, membuatku tertarik untuk mengikutinya. Akhirnya, aku duduk pada sofa panjang, di sebelah Wijaya ketika perempuan itu hendak mengambilkan minum.

"Upami abdi nyuunkeun cai bodas wungkul, wios, Pak?"

"Teu kedah sesah-sesah, Bu, moal lami da."

Wijaya terlihat bingung mendengar percakapan kami, jadi aku memberitahunya, "Ibu itu ingin menyajikan air minum untuk kita. Aku menolaknya."

Uh, kadang-kadang aku merasa geli ketika aku berinteraksi menggunakan bahasa daerah, sedangkan seseorang di sampingku tak mengerti apa yang kuucapkan, kemudian membuat mimik yang unik. Mungkin, itu pula terjadi padaku jika aku sedang merantau ke negeri orang. Sejujurnya, aku tak tahan untuk menggoda Wijaya, bercanda menggunakan bahasa daerah yang tidak diketahuinya. Namun, aku tahu itu bukanlah hal yang baik.

Akhirnya, perempuan itu mendengarkan instruksiku, ia lebih memilih untuk duduk pasa sofa yang tersisa ketimbang mengambilkan kami air minum. Lagipula, memang aku pun tak mengharapkan hal itu, dan aku yakin Wijaya memikirkan hal yang sama.

"Jadi, bu, sebenarnya kami di sini hanya ingin menanyakan beberapa hal," kataku, mengganti pengaturan bahasaku agar Wijaya dapat mengerti obrolan kami. "Oh, ya, Roy."

Kuulurkan kedua tanganku, membentuk tanda perkenalan di mana perempuan itu melakukan hal yang sama. Kemudian, Wijaya melakukan tindakan persis seperti yang kulakukan, memperkenalkan namanya, mengulurkan salam, dan dibalas oleh perempuan itu—Rita.

"Jadi, bu Rita pemilik produksi manekin, ya?" tanyaku, memulai wawancara secara tak resmi.

"Iya. Kenapa, Pak?"

"Ah, ya, saya hanya ingin bertanya apakah beberapa hari sebelumnya pernah ada orang di luar dari langganan ibu yang memesan manekin, Bu? Lebih khususnya, mungkin hanya membeli kepalanya saja."

Bu Rita sedikit bungkam. Alisnya dikerutkan. Kemudian, dengan nada rendah, ia bertanya, "Ini téh tentang pembunuhan itu, ya?"

Aku mengangguk. "Agak menyinggung ke sana,Bu."

"Tapi gak ada, da. Semua yang pesen langganan saya," beritahunya.

"Boleh saya minta daftar orang-orang yang memesan ke ibu, Bu?"

"Tunggu, rasanya saya simpen di kamar." Bu Rita segera beranjak dari tempat duduknya, menuju ruangan lain yang belum kujamah. Jadi, aku hanya menunggunya di sini, tanpa kepastian yang jelas. Seolah-olah menjadi bayanganku, Wijaya melakukan hal yang sama—tidak melakukan apa-apa—hingga akhirnya wanita itu kembali dengan membawa buku tebal berukuran folio dengan tebal yang kuterka sekitar dua ratus halaman, berwarna kuning dengan sedikit tulisan pada sampul halaman depannya, tetapi tak sempat kubaca karena bu Rita lebih dulu membuka lembaran demi lembaran buku itu.

"Ini dari sekitar lima tahun lalu, Pak." Bu Rita menyerahkan buku itu padaku dalam keadaan tertutup, sehingga aku dapat membaca tulisan pada sampul depannya. Pembeli, itu yang tertulis di sana.

"Ditulis manual, Bu? Nggak pakai komputer?"

"Saya nggak bisa pakai komputer, Pak."

Uh, aku tak percaya di zaman modern seperti ini masih ada orang yang menggunakan tulisan tangan untuk membuat daftar sebanyak dan setebal ini. Beberapa tulisan terlihat berbeda satu sama lain, menandakan sang penulis adalah orang yang berbeda-beda, membuatku sadar akan satu hal.

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Where stories live. Discover now