Sebuah mayat terpampang nyata di hadapanku, terbaring di atas kasur empuk dengan bagian atas yang sengaja dinaikan. Lampu neon yang tak begitu terang membuat suasana ruangan ini menjadi tak nyaman, seolah-olah aku berada pada salah satu adegan film horor, menunggu mayat ini hidup.

Berbeda dengan sebelumnya, aku tak mendapati kepala manekin yang menempel pada bagian tubuh mayat ini. Mungkin dilepaskan oleh dokter Dalton—sang dokter yang menangani mayat ini.

"Jadi, bagaimana cara pembunuh itu menyambungkan mayat wanita ini dengan kepala manekinnya?" tanyaku, begitu dokter Dalton mencari arsip mengenai kasus ini.

"Kalian tidak akan percaya, pekerjaannya sangat rapi."

"Kejadian ini telah terjadi, kurasa aku akan percaya."

"Si pembunuh itu menjahit leher korban untuk ditempelkan pada kepala manekin, apakah saya benar?" tukas Wijaya, secara tiba-tiba.

"Bagaimana kau tahu?"

Wijaya menunjukan kepala manekin yang tergeletak di atas meja dengan kain bersih yang sengaja diletakan di bawahnya, sebagai alas agar kepala manekin itu tidak kotor. Kemudian, kuperhatikan kepala tersebut, lubang-lubang kecil berada di sekeliling leher manekin, membuatku membayangkan seorang pembunuh menjahitkan kulit leher korban pada lubang manekin ini.

"Menjijikkan," komentarku. Bahkan, aku hampir muntah ketika membayangkan seluruh kejadian yang timbul dalam benakku itu.

"Pekerjaanya sangat rapi," Dokter Dalton melanjutkan, "Untuk membuat jahitan seperti itu, yang pas dengan leher manekin serta panjang kulit leher korban, bukanlah pekerjaan mudah. Pembunuh itu memperhitungkannya dengan tepat, benar-benar menggantikan kepala mayat wanita malang itu dengan sebuah manekin."

"Menurutmu, orang seperti apa yang akan melakukan pekerjaan seperti ini?"

"Psikopat gila yang memiliki banyak waktu senggang?" sela Wijaya.

Setelah dokter Dalton mendapatkan barang yang diinginkannya, mengambil sebuah map plastik dan memberikannya padaku, ia berkata, "Kurasa Anda harus memeriksa para dokter bedah di kota ini. Anda mengerti maksud saya, kan?"

Aku mengangguk.

"Tak ada darah sama sekali?"

"Tak ada darah yang membekas di sekujur wanita itu. Ada sedikit bekas pada bagian leher, tapi tidak begitu banyak. Seperti yang saya katakan, pekerjaan itu sangatlah sulit, apalagi memotong leher korban tanpa menimbulkan cipratan darah sama sekali."

"Jadi, menurut Anda bagaimana cara ia melakukannya, Dok?"

Dokter Dalton menggeleng, "Saya tidak tahu. Saya tidak menemukan bekas pembekuan darah yang disengaja sama sekali, mungkin orang itu terlebih dahulu mengeluarkan seluruh darah dengan membuat lubang kecil pada bagian atas leher wanita itu. Kemudian, setelah semuanya keluar, ia baru memotongnya."

"Benar-benar psikopat gila yang memiliki banyak waktu senggang," Wijaya membenarkan pernyataan sebelumnya.

"Jadi, bagaimana dengan waktu kematian dan semacamnya, Dok?"

"Itu semua ada di dalam sini," katanya, sembari mengetuk map plastik yang tengah berada dalam genggamanku itu beberapa kali. "Anda bisa membacanya."

Tanpa berpikir panjang, segera kubuka lembaran-lembaran hasil visum itu, begitu pula dengan Wijaya dengan rasa penasarannya yang tinggi. Ia mendekatiku, berjinjit sedikit, mencari tahu isi dari laporan ini.

Seorang wanita dengan tinggi diperkirakan 155 sentimeter, seperti yang kukatakan, serta berumur akhir 20-an. Pembunuhan diperkirakan terjadi kemarin malam sekitar pukul tujuh malam, kehabisan darah. Tak terdapat lebam di sekujur tubuhnya, tetapi ada dugaan bahwa wanita ini sebelumnya disekap, terdapat bekas tali pada kedua tangan dan kakinya, tidak begitu kencang, tetapi cukup menahan pergerakan wanita ini.

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Where stories live. Discover now