"Saya rasa orang itu meletakkan mayatnya sekitar pukul tiga atau empat pagi, bukan dini hari," katanya. "Menurut saya, rentang waktu antara tengah malam hingga ditemukannya mayat itu terlalu jauh, lebih masuk akal jika mayat itu diletakkan pada pagi hari, sehingga siswi itulah yang menemukannya terlebih dahulu. Bagaimana menurut Anda, Pak?"

Kusilangkan lenganku, memangku dada tanpa membusungkannya. Aku hampir memuji karena analisisnya itu. Dia belum pernah melihat lokasi ini secara langsung, tetapi dia langsung memberikan asumsi berdasarkan data yang ada serta lingkungan yang terlihat. Namun, aku tak ingin memujinya secara terburu-buru. Aku yakin Wijaya sangat cerdas, buktinya ia sudah menjadi seorang detektif, menyamai jabatanku, bahkan dalam divisi pembunuhan. Tidak mungkin tanpa alasan, kan?

"Kurasa kita baru bisa menyimpulkan setelah mendapatkan hasil visum, menunggu orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya, kalau beruntung, mungkin kita akan mendapatkan seseorang yang bersaksi melihat pria mencurigakan yang meletakkan sebuah trash bag di tempat ini, kemudian mencocokkan jamnya."

"Pria?"

"Aku hanya berasumsi. Mengangkut mayat wanita yang tertelungkup dalam sebuah kantung plastik tanpa menyebabkan plastik itu robek adalah hal yang sulit dilakukan."

"Oh, saya mengerti maksud Anda, Pak."

Perhatianku teralihkan oleh lampu merah yang berubah menjadi hijau. Memang, tempat ini berada tepat di persimpangan jalan, membuat tempat ini selalu ramai. Mobil-mobil melewati kami, tak henti-hentinya, membuatku bertanya-tanya, apakah manusia-manusia ini benar-benar tak memiliki pekerjaan?

Selain itu, beberapa angkutan kota sengaja tak menjalankan mobilnya, padahal lampu lalu lintas telah mempersilakan mereka, membuat titik kemacetan dan kegaduhan akibat klakson mobildi belakangnya, tak terima akan kebiasaan para supir angkutan kota yang seenaknya itu. Aku tahu, tidak semuanya seperti itu, tetapi kebiasaan itu tetap ada.

Wijaya terlihat berjalan-jalan di sekitar tempat ini, tetapi masih berada di dalam garis polisi, mencari benda yang entah apa itu akan ada atau tidak. Namun, akhirnya, setelah beberapa lama, tampaknya lelaki itu menyerah. Ia kembali mendekatiku yang sedari tadi memperhatikannya. Nihil, tentu saja, si pembunuh itu benar-benar hanya meninggalkan mayatnya di sini, membuatku sedikit ketakutan. Apakah si pembunuh itu benar-benar tak meninggalkan sesuatu sama sekali? Bagaimana dengan darah? Jika pembunuh itu memotong leher sang wanita, bukankah setidaknya ada beberapa tetes darah yang tersisa di badannya? Atau mungkin tak sengaja tertempel pada trash bag yang diletakannya dan membuat jejak kecil pada keramik trotoar ini?

"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang, Pak?" tanyanya. Ya, pemula tetap saja pemula, kan? Aku tak merendahkannya—tentu saja.

"Kasus pembunuhan tak akan selesai semudah itu. Kurasa sekarang kita hanya perlu menunggu hasil dari labolatorium dan menunggu laporan, seperti yang kukatakan tadi."

"Bagaimana dengan siswi itu?"

"Kita menjemputnya pukul empat sore."

"Bukan satu siang?"

Aku tertawa, menyeringai, "full day school. Jangan samakan masa mudamu dengan masa muda mereka. Kau harus lebih banyak membaca untuk mengetahui keadaan terbaru di kota ini."

Akhirnya, kami sepakat untuk menunggu daripada tergesa-gesa melakukan sesuatu yang tak berguna. Walaupun beberapa laporan belum sempat kurekap dan seharusnya kukerjakan saat ini juga, tetapi pilihanku jatuh pada bermain boardgame bersama Wijaya. Ya, membuat sebuah chemistry dengan rekan kerja yang baru juga seharusnya diperhatikan, kan? Apa jadinya jika kita tak dapat bekerja sama?

Jadi, kami bermain pada sebuah taman di bawah rindangnya pepohonan setelah kuambil boardgame yang dapat dimainkan oleh dua orang dari rumahku. Menunggu waktu untuk menjemput siswi itu.

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang