32. Forgive Me

24.6K 2.2K 164
                                    

Ardo masuk ke kelas dengan langkah gontai. Roni yang menyadari kedatangan Ardo langsung berdiri menepuk bahu sahabatnya itu.

"Weh, ada apa, Do? Kok lesu? Gimana tadi?" tanya Roni penasaran. Ardo hanya menggeleng dan duduk di kursinya. "Nggak dimaafin sama Icha?"

"Bukan. Gue emang nggak pantes buat dimaafin Icha, Ron. Gue udah ngancurin impian dia. Gimana bisa gue dimaafin gitu aja? Ada harga yang harus gue bayar. Penyesalan seumur hidup gue. Gue pasrah, ah." Ardo menyandarkan punggungnya sambil menghela napas frustrasi.

Umar berdecak pelan. "Ini bukan Ardo yang gue kenal, deh. Gini ya, Ardo Effendi. Meski terkadang omongan gue lebih banyak ngawurnya, kali ini aja, izinkan gue mengatakan satu petuah sama lo ..." Roni sudah menyilangkan kedua tangannya di depan dada, mencoba memahami kalimat-kalimat sok bijak yang akan keluar dari mulut Umar.

"Seperti kata lo, ada harga yang harus lo bayar. Gue yakin, cara ini bakal bikin Icha maafin lo," jelas Umar berapi-api.

"Caranya?" Ardo menegakkan tubuhnya. Ia menatap Umar dengan serius.

Umar menatap satu persatu sahabatnya, dari Ardo ke Roni, Roni ke Ardo. Senyuman Umar membuat perasaan Ardo jadi tidak enak. "Lo harus lakuin apa yang pernah Icha lakuin ke lo waktu itu. Keadaannya dibalik. Gimana?"

"Bravo! Gue setuju!" Roni langsung bertepuk tangan.

"Hah? Maksud lo?" Ardo belum sepenuhnya paham apa yang dimaksud oleh Umar.

"Gini, Do. Lo pernah ngerjain Icha buat lakuin permintaan aneh-aneh lo itu, kan?" Ardo mengangguk. "Nah, itu dia. Gantian lo yang sekarang lakuin semua permintaan Icha, apapun itu asal dia mau maafin lo."

Bahu Ardo melorot dengan lemas. "Mati gue!"

"Gimana, Do? Demi mendapatkan maaf dari Icha, lho? Lo nggak mau membuang kesempatan ini, kan?" Umar menggebrak meja di depan Ardo.

"Perjuangan baru dimulai, Bro," seru Roni menimpali.

Ardo tampak berpikir. Mungkin ide Umar ada benarnya juga. Jika ia mau mendapatkan maaf dari Icha, ia harus berkorban. Ardo harus menunjukkan kesungguhannya pada Icha.

"Oke, deal!" ucap Ardo dengan semangat menggebu-gebu.

--**--

Icha mengelap peluh yang menetes di pelipisnya. Meta mengulurkan botol air mineral pada Icha. Beberapa anak juga sedang beristirahat di bawah pohon mangga yang rindang. Kelas XI IPA 3 baru saja mengikuti pelajaran olahraga yang diajar oleh Pak Sam.

Mulai hari ini Icha tidak lagi membolos pelajaran olahraga. Dan juga, Icha tidak lagi keberatan bermain basket ketika Pak Sam memintanya. Semuanya terasa ringan, ketika satu persatu masalah menemukan jalan keluarnya.

"Cha, lo inget nggak waktu itu kita pernah nyari liontin lo di sini?" tiba-tiba saja Meta membuka percakapan di antara mereka.

"Iya, gue inget. Kenapa?" tanya Icha balik.

"Kalau dipikir-pikir bukan salahnya Kak Ardo doang, sih. Tapi salah lo juga yang nggak nyadar liontin lo jatuh." Meta melirik Icha. Tetapi cewek itu malah melotot tajam ke arah Meta. "What?"

"Ngapain lo bahas dia? Udah, deh, Met. Lo nggak perlu bawa-bawa nama tuh cowok lagi." Icha langsung bangkit dari posisi duduknya, dan meninggalkan Meta yang masih melongo.

Meta menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan kembali meminum air mineralnya. Ia hanya heran dengan sikap Icha akhir-akhir ini. Setiap Meta menyinggung soal Ardo pasti Icha langsung marah-marah sendiri. Padahal setiap Icha curhat, selalu ada nama Ardo yang terselip.

MIMPI [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now