21. Lost Dream

25.5K 2.5K 244
                                    


Bel pulang baru saja berbunyi. Di saat semua anak berlomba untuk keluar kelas, Ardo malah bersandar di tembok dengan santainya. Tubuhnya sedikit melorot ke bawah dan perlahan ia mulai memejamkan matanya.

"Woi, Ardo! Lo nggak pulang?" tanya Roni yang sudah menyampirkan tas di bahu kanannya.

"Mau semedi kali tuh anak, Ron. Nyari wangsit iya nggak, Do?" Giliran Umar yang menyahut dari depan kelas. Cowok itu lagi kebagian piket menghapus papan tulis. Pernah ia mangkir piket, dan langsung mendapatkan omelan dari si Gina—ketua kelas XII IPA 2. Gina itu emang cerewetnya seperti emak-emak.

"Nah, gitu dong, Mar." Tiba-tiba saja Gina datang dan menepuk punggung Umar dengan keras. "Good boy." Gina mengacungkan jempolnya dan berlalu pergi keluar kelas.

"Sialan. Giliran gue nurut aja dibaik-baikin. Lama-lama gue gebet juga, tuh, si Gina." Umar sudah ngedumel sendirian.

Ardo yang mendengar itu langsung membuka matanya, dan duduk dengan tegak. "Udah, gebet aja, Mar. Kelamaan. Takhlukin si Gina. Lumayan, dia cantik juga, kok."

Roni menjitak kepala Ardo. Ardo meringis dan mengumpat keras. "Ngapain lo jitak kepala gue, Pak? Apa salah dan dosa gue?"

"Gaya lo ngajarin Umar gebet si Gina. Lha, lo? Gebet si Icha aja sampai sekarang belum ada hasilnya juga." Omongan Roni itu benar, tapi menyakitkan.

Umar tertawa terbahak-bahak di depan kelas. Rasanya puas sekali melihat wajah Ardo berubah jadi asem. Ardo masih mengusap kepalanya yang dijitak Roni, dan cowok itu mengambil tasnya yang berada di bawah kursi.

"Gue cabut duluan. Sekali-kali tobat gitu lah, belajar di rumah," ucap Ardo serius.

"Gila! Si Ardo omongannya kayak orang bener aja," celetuk Umar setelah mengembalikan penghapus kelas ke dalam laci. "Atau kita belajar bareng aja, Do? Tobat berjamaah gitu?"

"Hoax. Yang ada lo malah ngajakin nge-games juga kali, Mar. Gue cabut. Cewek gue udah nungguin. Duluan ya, bro." Roni menepuk bahu Ardo dan Umar bergantian.

Ardo keluar setelah Roni menghilang dengan pacarnya. Umar mengekor di belakang Ardo, masih dengan tawarannya yang tadi. Belajar bareng. Tiba-tiba saja ponsel Ardo bergetar panjang. Nama Nadi tertera jelas di layar sentuh itu.

"Hallo. Ya, Nad?"

"Kak Ardo. Tebak aku sekarang di mana coba?" suara Nadi terdengar sangat riang.

"Aku bukan dukun kali, Nad, yang bisa nebak-nebak kamu ada di mana. Emang kamu sekarang ada di mana?" Entah kenapa perasaan Ardo kali ini benar-benar tidak enak. Harusnya ia ikut senang mendengar suara riang Nadi.

"Aku ada di depan sekolahnya Kak Ardo. Ini sama Papa dan Mama juga. Kita jemput Kak Ardo."

Ardo tidak bisa berkata apa-apa lagi. Cowok itu diam mematung. Darahnya seolah berhenti mengalir. Tangan kirinya mengepal kuat. "Oke, aku keluar sekarang," jawab Ardo datar. Ia mematikan teleponnya dan berjalan ragu menuju gerbang sekolah.

Umar yang berada di belakang Ardo merasa bingung dengan perubahan sikap Ardo. "Do, gue duluan ke parkiran ya." Ucapan Umar hanya dibalas anggukan oleh Ardo.

--**--

Sebuah mobil hitam mengkilat berhenti tepat di depan rumah milik Tante Mela. Ardo memarkirkan motornya di depan rumah. Rumah Tante Mela kecil, halamannya hanya cukup untuk parkir dua sepeda motor. Terpaksa mobil milik keluarga Nadi harus parkir di pinggir jalan.

"Masuk, Nad," Ardo hanya mempersilahkan Nadi, tidak dengan sepasang suami istri yang berada di belakang Nadi. Ardo mendorong kursi roda Nadi dan membantunya duduk di kursi ruang tamu. Jujur, Ardo tidak tahu harus menyapa seperti apa yang pantas untuk kedua orangtuanya—bukan—lebih tepatnya kedua orangtua Nadi.

MIMPI [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang