25. Mimpi Itu Tidak Nyata

24.6K 2.3K 173
                                    

Pagi-pagi Ardo sudah mengobrak-abrik kamarnya. Ia mencari liontin milik Icha yang hilang entah ke mana. Ardo sudah mencarinya di laci, lemari, tempat tidur, tas sekolah, saku jaket, dan saku celananya. Tapi nihil, liontin itu tidak ada di manapun.

Ardo mengacak-acak rambutnya frustrasi. Perasaan kemarin gue taruh di jaket kok?

Seberapa keras Ardo mencarinya, liontin itu tetap tidak bisa tiba-tiba muncul seperti di film-film. Sekali lagi, Ardo mencoba mencarinya. Tapi tetap saja tidak ia temukan. Ardo berjalan menuju ruang tamu, ia melihat Nadi dan Tante Mela sedang menonton televisi. Untuk sesaat, ia merasa ragu ingin menanyakan liontin itu pada Tante Mela. Karena di sana ada Nadi.

"Eh, Tante. Tante lihat barang milikku yang jatuh gitu, nggak?" tanya Ardo dengan nada yang jelas-jelas terdengar sangat hati-hati.

Mela mengerutkan keningnya. "Wujud barangnya apaan?" tanya Mela balik.

"Ya ... ada, lah, pokoknya," jawab Ardo sedikit mencurigakan. Nadi masih terdiam memperhatikan kakaknya itu.

"Ih, Kak Ardo nggak jelas. Kalau Kakak nggak bilang barangnya itu apa, ya kita nggak tahu lah. Iya kan, Tan?"

"Bener kata Nadi. Kenapa kamu mendadak aneh, sih, Do?"

Ardo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung didesak dua orang perempuan di rumah itu. "Nggak jadi, ah. Aku cari sendiri." Setelah mengatakan hal itu Ardo keluar dari rumah dan mencoba menghubungi Umar atau Roni. Mungkin saja liontin itu jatuh saat ia sedang bersama kedua sahabatnya itu.

Liontin itu harus ketemu. Itu senjatanya Ardo untuk mengendalikan Icha. Sedangkan seminggu lagi, liburan semester pertama sudah akan berakhir.

"Ceroboh banget, sih, gue. Di mana liontin itu?"

--**--

Sudah seminggu lebih Oma Ambar tidak pernah berkunjung ke rumah. Entah Icha harus bersyukur atau merasa sedih. Yang jelas ada sedikit kelegaan ketika dirinya tidak lagi mendengar omelan neneknya itu.

Icha kini sedang duduk melamun di toko milik ayahnya. Bahkan ia tidak sadar ketika ayahnya sudah duduk di depan Icha.

"Jadi kamu ke toko Papa cuma mau duduk ngelamun? Nggak berniat bantuin, Cha?" suara Dani mengembalikan kepingan-kepingan kesadaran Icha yang sudah melayang ke udara.

Icha masih terdiam cukup lama hingga Dani mencubit hidung Icha.

"Ih, Papa sakit tahu. Hidung Icha bisa kayak Pinokio ntar," gerutu Icha sambil mengusap-usap hidungnya.

"Nggak apa-apa biar tambah mancung," sahut Dani santai. Icha mendadak cemberut.

"Pa," panggil Icha pelan. "maafin, Icha ya. Icha nggak bisa banggain Papa. Nggak bisa banggain keluarga juga. Icha bisanya nyusahin doang."

"Hem, terus?"

"Boleh nanya nggak? Kenapa dulu Papa nolak keinginan Oma untuk jadi dokter?" Icha menatap ayahnya intens. Sorot mata yang begitu tajam sekaligus teduh itu selalu membuat hati Icha tenang. Bagi Icha ayahnya adalah sosok pahlawan yang sangat ia banggakan. Tidak peduli berapa banyak lelaki hebat di dunia ini, ayahnya lah yang paling hebat menurut Icha.

"Karena setiap orang punya passion-nya masing-masing, Cha. Nggak bisa dipaksakan. Orang ini harus gini, harus gitu. Kalau Oma Ambar, wataknya emang sudah seperti itu. Nggak bisa diubah." Dani menghela napas sejenak dan menoleh untuk mengawasi kinerja karyawannya. "Yang penting kamu yakin dengan impian kamu, dan tetap semangat. Papa dan Mama akan selalu dukung kamu, meski Oma menentangnya. Karena bagi Papa, masa depan kamu itu ada di tanganmu sendiri. Tugas kami cuma mengawasi kamu supaya nggak melenceng dari jalan yang lurus." Dani tertawa pelan.

MIMPI [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang