24. Like A Nightmare

24.6K 2.3K 153
                                    

Nadi berlari menghampiri Icha yang sedang duduk di tepi lapangan. Gadis itu langsung merebut air minum Icha, dan meminumnya hingga tersisa setengah botol.

Nadi meringis melihat tatapan galak dari Icha. "Sorry, Cha. Gue haus. Oh, ya. Gue kepilih jadi tim inti, lo gimana? Masuk tim inti juga, kan?" tanya Nadi dengan nada penuh semangat.

Icha tersenyum hambar. Kepalanya menggeleng pelan. "Nggak, Nad. Gue masuk tim cadangan."

"Hah? Serius lo? Jangan bercanda, deh. Waktu itu kan, Pak Sam bilang kalau kita berdua punya peluang paling besar masuk tim inti? Gimana jadinya gue nanti main nggak sama lo?"

Lagi-lagi Icha tersenyum. "Nggak apa-apa lah, Nad. Mungkin tahun depan gue bisa masuk tim inti. Gue akan lebih giat berlatih. Lagian, nanti kalau lo lelah saat pertandingan, gue bisa gantiin lo sementara, kan?"

Nadi menatap Icha dengan perasaan tidak enak. Bagaimanapun juga ia dan Icha selalu bersama. Sebagai seorang sahabat, Nadi tahu perasaan kecewa Icha saat ini. Meski Icha pintar untuk menyembunyikan perasaan itu.

"Semangat, Cha. Gue selalu ada buat lo, kok. Kita berjuang sama-sama ya," kata Nadi dengan senyuman hangat.

--**--

Icha menghapus air matanya yang tidak mau berhenti sejak ia mulai menceritakan kisahnya masa lalunya pada Meta. "Maaf, Met. Ini pertama kalinya lo lihat gue cengeng banget, kan?"

Meta menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Cha. Sekali lagi lo minta maaf, gue pulang, nih."

"Ih, jangan. Gue belum selesai cerita." Icha menghela napas panjang. Dan ia mulai bercerita lagi.

--**--

Icha mendengar beberapa anak-anak basket mulai menggosipkan dirinya. Icha dibilang iri dengan Nadi. Icha dikabarkan akan menggagalkan Nadi menjadi tim inti sebelum pertandingan basket antar sekolah, dan akan menggeser posisi Nadi saat ini.

Tidak hanya sekali. Berkali-kali Icha mendengar omongan tidak enak itu dari orang-orang yang bisa dibilang dekat dengan Icha maupun Nadi. Ternyata mereka tidak sebaik yang Icha anggap. Di depan Icha mereka bersikap manis, tetapi di belakang Icha mereka seperti duri yang siap menancapkan dirinya ke tubuh Icha.

Icha dengan sengaja langsung berjalan di depan mereka tanpa mengatakan permisi atau apapun itu. Sekarang Icha tahu siapa yang benar-benar baik dan busuk. Sebagian kecil, teman itu memang benar-benar baik dan setia. Tetapi sebagian besar, teman itu busuk dan sering menggosip di belakang kita.

Itulah yang dirasakan Icha.

Gadis itu masih duduk di tepi lapangan. Menatap sahabatnya—Nadi—yang sedang berlatih sangat keras. Pertandingan akan dilaksanakan lusa di SMA Garuda. Tim basket SMA Tunas Bangsa akan berangkat menggunakan bus. Mereka harus kumpul jam 7 tepat, tidak boleh ada yang terlambat.

Icha menoleh ke semua sudut lapangan, dan ada satu cowok yang tidak begitu ia kenal selalu duduk di bangku penonton. Mungkin cowok itu adalah pacar salah satu anak-anak basket. Icha tidak tahu.

--**--

Icha sudah siap di atas motornya. Saat ia sudah menghidupkan mesin motor, tiba-tiba saja ponsel Icha yang berada di dalam tas berbunyi. Telepon dari Nadi.

"Iya, ada apaan, Nad?" tanya Icha begitu sambungan telepon terhubung.

"Cha, lo bisa nggak jemput gue?"

"Hemm, bukannya lo biasanya diantar sama bokap lo. Atau katanya lo mau diantar kakak lo? Bukannya gimana, sih, Nad. Masalahnya ini udah jam 7 kurang seperempat. Rumah lo kan jauh. Butuh waktu setengah jam buat sampai sana. Belum perjalanan ke sekolah." Icha menimbang-nimbang. Ia bingung harus gimana. Sementara jarak sekolah dan rumah Icha memang tergolong dekat. 15 menit dengan sepeda motor kecepatan 40km/jam.

MIMPI [Sudah Terbit]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum