12. Misi Pencurian

27.9K 2.7K 204
                                    

“Cowok itu mencurigakan,” gumam Icha pelan, tetapi Meta masih bisa mendengarnya.

“Siapa, Cha?”

“Ardo,” jawab Icha dengan lirikan tajam ke arah Ardo yang masih saja membuang muka.

Pandangan Meta beralih ke Ardo yang memang terlihat mencurigakan. “Iya, Cha. Gue juga curiga sama Kak Ardo. Kayaknya dia itu emang bener-bener suka sama lo, deh. Gue yakin banget. Iya, kan?”

“Dih, apaan? Ngawur. Ya nggak lah. Dia itu cuma cowok kurang kerjaan aja. Tapi ...”

“Tapi apa? Lama-lama gue juga curiga sama lo, Cha.” Meta berdecak dan meraih minumannya yang tinggal sedikit. “Balik ke kelas, yuk!”

Icha masih diam di tempatnya. Memikirkan sebuah rencana untuk mendapatkan liontinnya kembali. Icha menarik tangan Meta dan menyuruhnya duduk lagi.

“Gue punya rencana, Met. Sebuah misi,” ucap Icha menggebu-gebu.
“Misi apaan? Jangan aneh-aneh lo ya! Perasaan gue nggak enak.”

Icha menyipitkan matanya. Ide ini terlintas begitu saja di kepalanya tadi. Bukan perencanaan yang matang tetapi bisa dibilang ini akan sukses jika semuanya berjalan dengan  lancar. Haram hukumnya jika Icha menyerah begitu saja.

“Gue pernah bilang kan, kalau gue mau nyuri liontin itu dari Ardo?”

“Eh, serius lo, Cha? Gimana caranya? Kalau lo ketahuan?”

Icha tersenyum iblis kemudian membisikkan sesuatu pada Meta. Meta sempat ragu tetapi kemudian menyetujui ide gila Icha.

Icha tahu misi ini bisa saja gagal, tetapi Icha tidak bisa berlama-lama berurusan dengan si tengil Ardo itu.

--**--

“Do, Icha lihatin lo, tuh,” seru Umar pada Ardo.

Tanpa diberitahu pun Ardo sudah tahu kalau Icha sedang menatapnya saat ini.

Dalam hati Ardo masih merutuki dirinya sendiri karena tertangkap basah oleh Meta saat ia menatap Icha beberapa waktu yang lalu.

Sebenarnya Ardo juga sedang mengawasi Erlang yang menatap Icha dengan senyum menjijikkan. Rasanya Ardo ingin melemparkan bumbu cilok ke muka Erlang. Eh? Apa Ardo sedang cemburu?

“Iya, gue tahu,” jawab Ardo singkat.
Jawaban Ardo membuat Roni menghentikan makannya dan saling bertukar pandang dengan Umar.

“Gila. Lo punya indera keenam ya, Do?” tanya Umar heboh.

“Bukan! Gue punya Indera Herlambang.”

Roni melempar Ardo dengan gumpalan tissue yang habis ia pakai untuk mengelap ingus.

“Kalau lo naksir si Icha, tembak gih. Keburu digebet Erlang baru tahu rasa lo. Zaman sekarang ya, Do. Lo mau gengsi-gengsian mah nggak kelar-kelar. Yang ada, lo ketikung duluan. Inget nih, omongan gue. Kalau sampai Icha jadian beneran sama Erlang, gue nggak bertanggung jawab kalau lo uring-uringan. Oke?”

“Lo ngomong apaan, Ron, Ron? Gue nggak naksir si Icha. Jangan nyebarin gosip yang nggak bener.”

Umar memandang Roni dan Ardo bergantian.

“Terus, lo nahan liontinnya Icha buat apaan? Tujuan lo aja nggak jelas. Nggak beralasan. Apa lagi kalau bukan buat narik perhatiannya Icha?” Kali ini gantian Umar yang berargumen.

Ardo diam seribu kata. Seperti ikan koi yang lagi makan, hanya mangap-mangap tanpa mengeluarkan suara.

“Itu urusan gue.” Setelah mengatakan hal itu, Ardo berdiri dan pergi dari kantin meninggalkan kedua sahabatnya.

MIMPI [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang