11. Tentang Sebuah Kisah

29.3K 2.8K 181
                                    


Icha malas pulang ke rumah. Kabar terakhir dari Farel, Oma Ambar sedang ada di rumahnya. Tetapi tidak bersama Marita. Entah bersama Marita atau tidak, Icha tetap saja malas untuk bertemu dengan neneknya itu. Kejadian beberapa hari yang lalu masih saja melekat di kepala Icha seperti parasit yang menjengkelkan.

Lagu Perfect milik Ed Sheeran mengalun merdu di sebuah kafe bernuansa hitam putih itu. Icha sedang duduk di sofa khusus untuk tamu si pemilik kafe. Jangan salah, Icha itu bukan hanya istimewa di sana, tetapi sangat istimewa.

Tampang jengkel tertera jelas di wajah Icha. Gadis itu melahap kentang goreng yang baru disajikan seperti orang kelaparan. Ia tidak peduli dengan tatapan beberapa orang yang menganggapnya aneh. Mungkin.

"Cha, kamu makan kayak orang kesurupan," ucap seorang cowok yang memakai celemek dengan gambar cangkir kopi dan nama kafe tempat Icha berada saat ini.

"Apaan,sih!" Icha menanggapinya dengan ketus. Ia benar-benar tidak ingin diganggu.

"Dasar bocah. Sana pulang, mau sampai kapan kamu di sini?"

"Sampai tutup sekalian. Nanti pulangnya sama Bang Farez." Icha kembali melahap kentang goreng dan sesekali meminum chocolate milk shake miliknya.

Farez menghela napas pelan. Hujan masih saja deras di luar sana. Ia tidak mungkin membiarkan adiknya itu pulang naik motor sendirian. Kalau sampai ada apa-apa dengan Icha, ia bisa langsung digantung oleh ayahnya.

"Kalau gitu, biar kamu diantar sama Juno aja nanti. Abang harus beres-beres dulu."

"Nggak! Ngapain aku pulang sama playboy cap cicak kayak dia. Pokoknya Icha nungguin Bang Farez aja. Nanti motornya Icha nitip di sini dulu, ya?"

Tangan Farez terulur mencubit pipi Icha gemas. "Iya, iya. Manjanya kumat, deh. Lagi PMS ya, Cha?"

"Nggak," jawab Icha singkat. Ia tidak ingin membahas hal itu. Ia uring-uringan seperti ini gara-gara kakak kelasnya yang rese itu. Tentu saja si Ardo. Siapa lagi? Rasanya hidup Icha di sekolah tidak akan pernah tenang kalau Ardo masih hidup. Haruskah Icha benar-benar menyewa pembunuh bayaran?

Apaan, sih, Cha? Kayaknya gue kebanyakan nonton drama, deh.

"Nah, malah ganti ngelamun. Abang tinggal dulu ya, Cha. Banyak pembeli. Lagi ramai." Farez berdiri dan kembali bekerja. Icha hanya mengangguk samar saat Farez pergi.

Kafe itu adalah milik Farez dan temannya yang bernama Juno. Mereka mendirikan kafe itu setahun yang lalu. Awalnya hanya untuk iseng melatih kemampuan jadi pengusaha, dan ternyata kafe itu menjadi semakin ramai dari bulan ke bulan.

Dan kafe itu adalah tempat pelarian kedua Icha setelah toko roti milik ayahnya.

Tiba-tiba saja mata Icha menangkap sesosok makhluk yang tidak asing lagi. Cowok itu bersama seorang cewek yang memakai kursi roda. Mereka saling berpelukan, kemudian mengobrol dengan sangat santai.

"Ardo?"

--**--

Ardo menyambar jaketnya yang digantung di pintu, kemudian keluar dari kamarnya dengan buru-buru.

"Tan, gue pergi dulu ya," pamit Ardo pada Mela.

"Mau ke mana lo? Hujan gini?" Mela yang sedang asyik menonton acara televisi menoleh ke arah Ardo yang hampir mencapai pintu.

"Keluar bentar sama temen."

"Oke. Kalau lo pulang lebih dari jam sebelas malam, lo masuk aja lewat bawah tanah."

Ardo tertawa sekilas. "Tenang Tante Mela yang cantik, gue bisa nembus dinding kok."

"Horor lo, ah."

MIMPI [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now