23. Pintu Rahasia

23K 2.3K 135
                                    

Ardo masih memikirkan permintaan apalagi yang akan ia ajukan pada Icha. Bahkan Ardo sempat lupa masih menyimpan liontin milik Icha. Fokus Ardo sekarang bukan hanya di Icha tetapi sudah bercabang ke mana-mana.

"Ardo! Do!" teriak Umar heboh di belakang Ardo. Ardo yang mendengar namanya dipanggil segera menoleh.

"Apaan?" sahut Ardo galak.

"Galaknya, kayak cewek PMS aja lo. Heh, lo udah tahu belum, kalau ..."

"Belum."

"Gue belum selesai ngomong!" semprot Umar langsung. "Lo udah tahu belum, kalau Icha sakit? Nggak masuk dua hari ini dia. Tadi gue tahu dari si Meta-temennya Icha."

"Wah, sekarang lo gebet Meta juga, Mar?"

"Sialan! Malah bahas gue. Gue lagi bahas soal Icha. Lo nggak punya niatan jenguk gebetan lo? Itung-itung bisa dapet nilai plus gitu lah nanti di mata Icha dan calon mertua."

"Ngomong aja sesuka lo deh, Mar." Ardo berjalan masuk ke kelas diikuti oleh Umar yang masih ngoceh seperti burung beo.

"Lo nggak nyesel kalau ditikung si Erlang? Awas aja kalau lo galau-galau kayak kids zaman now yang bikin gue muntah-muntah." Umar duduk di kursi dan mulai mengeluarkan ponselnya.

"Nggak akan!" jawab Ardo dingin.

--**--

Kepala Icha masih sedikit berdenyut saat dirinya berdiri dari duduk atau bangun dari tidur. Sekarang Icha sedang duduk di depan televisi di ruang tengah dengan selimut membalut tubuhnya. Cewek itu fokus ke layar televisi yang sedang menayangkan sebuah kartun anak-anak.

"Nggak bosen apa dari pagi sampai siang kamu nonton kartun mulu, Cha?" tanya Farez yang tiba-tiba saja sosoknya sudah muncul di belakang Icha.

"Nggak," jawab Icha pelan. Kemudian Icha melirik Farez yang ikut duduk di sampingnya. "Tumben udah pulang jam segini, Bang? Nggak ke kafe?"

"Abang kuliah pagi, abis itu mampir ke kafe bentar. Sekarang Juno yang jagain."

Icha merapatkan selimutnya. Meski badannya sudah tidak panas, Icha merasa tubuhnya masih lemas. Ia tidak ingat bagaimana dirinya bisa pingsan waktu itu. Kata dokter, Icha hanya kecapekan, banyak pikiran, dan tekanan darahnya rendah. Perlu banyak istirahat, makan yang cukup dan tidak boleh memikirkan hal yang berat-berat.

Bagaimana tidak stres, kalau Oma Ambar selalu menekannya?

Farez menempelkan punggung tangannya di dahi Icha. "Udah nggak panas kan, Cha?"

Icha menggeleng pelan. "Nggak. Cuma masih pusing dikit, Bang."

Tiba-tiba saja bel rumah berdering.

"Bang Farez! Tolong bukain pintu ya! Mama lagi masak," teriakan Mama Ratih terdengar sangat keras dari arah dapur.

"Bukain, Cha." Icha melotot ke arah kakaknya setelah Farez seenaknya sendiri malah menyuruh Icha untuk membukakakn pintu. "Iya, iya. Sakit masih aja galak." Farez beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu utama.

Terlihat dua anak SMA yang masih berseragam lengkap berdiri di depan pintu. Satunya cewek berambut hitam pendek sebahu, satunya lagi cowok berkacamata hitam.

"Siang, Kak," sapa Meta langsung pada Farez.

"Ah iya, siang juga. Temennya Icha? Mau jenguk dia? Icha udah nggak sakit. Tuh, bocahnya lagi nonton kartun. Ayo, masuk. Jangan sungkan-sungkan. Anggap aja rumahnya Icha sendiri." Farez meringis garing di depan Meta dan Erlang.

Meta melirik ke Erlang seolah mengatakan 'Kayaknya, nih, orang mau ngelucu, deh.'

"Iya, Kak. Makasih," sahut Meta sopan. Bagaimana pun juga dirinya saat ini adalah tamu.

MIMPI [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now