Terkunci Dalam Masa Lalu

Start from the beginning
                                    

"Aku bisa melakukannya. Selama ini aku sudah hidup seperti itu. Aku tak menginginkan hubungan itu lagi. Aku sudah nyaman dengan hidup ku yang sekarang"

"Kau hanya melarikan diri"

"Dan itu hoby yang sudah ku lakukan bertahun-tahun. Bukan masalah bagi ku"

Kami diam sebentar.

"Apa yang kau ragukan sebenarnya? Bukankah kau berhasil mendapatkan hatinya? Jangan menyiksa diri terlalu lama, kau hanya menghindarinya selama ini. Kini waktunya mengobatinya"

"Aku bisa mengobatinya sendiri"

"Jadi kau ingin balas dendam?" Aku menggeleng kecil. "Tapi sikap mu menunjukkan kau ingin balas dendam kalau aku tak salah memprediksikan"

"Bukan balas dendam. Aku......aku terlalu marah dengan sesuatu yang tak ku mengerti"

"Kau marah karena menerima ajakan mu untuk bercerai, ya kan?"

"Ada banyak hal yang aku pun tak mengerti dengan semua ini, berhentilah bertanya karena aku tak punya jawabannya. Aku hanya takut dengan keputusan ku sendiri"

Kian menghela nafas pendek kemudian berbaring terlentang memandang langit-langit kamar seperti yang ku lakukan.

"Ada kalanya ego juga perlu di pertahankan. Tapi, jangan terlalu lama menahannya jika akhirnya melukai mu. Kau hanya perlu waktu dan berdiam dirilah. Biarkan dia berjalan sendiri ke arah mu baru memutuskannya. Tak perlu tergesa-gesa.

Pertimbangan mu sudah cukup bagus untuk saat ini. Kau hanya perlu menunggu kapan waktunya untuk menemukan celah, tak terus membiarkan diri mu berkutat menemukan jalan buntu.

Aku memang tak begitu paham. Setidaknya itu saran dari ku" Senyum kecil kembali terukir di bibir ku. "Dan jangan terlalu mellow menghadapinya" sambungnya. "Itu akan sangat membosankan jika ini sebuah film drama. Tak bakal ada ujungnya"

Aku terkikik geli mendengarnya. "Diam lah! Aku lebih suka kau diam" canda ku.

Kian mendelik lalu ikut terkikik bersama ku.

Benar, aku hanya mempertimbangkan tanpa perlu tergesa-gesa mengambil keputusan.

*****

Sejak pagi hujan tak kunjung reda. Jika boleh aku ingin berada di bawah selimut sepanjang hari. Sayangnya aku hanya bisa menggantinya dengan jaket tebal yang terus melekat di tubuh ku, menahan dingin.

"Harusnya musim hujan datang seminggu lagi" gumam rekan kerja ku, Cio.

Aku sedang menjaga apotek. Hari ini dokter praktek meliburkan diri, jadi sedikit pasien yang datang.

"Apa kau sudah menghubungi seseorang untuk memperbaiki penghangat ruangannya? Aku bisa mati membeku jika begini terus" ucapnya lagi, sambil menghangatkan dirinya dengan meniup kedua tangannya. Ia menggigil dan sedikit pucat.

"Pulang lah! Aku bisa menjaganya sendiri"

"Kau tidak kedinginan? Sedari tadi hanya memeluk dirimu saja"

"Dingin tapi tak separah dirimu. Ku rasa kau perlu obat untuk mengurangi wajah mu yang terlihat pucat"

Dia memegang wajahnya sendiri. "Apa aku sepucat itu?"

Aku mengangguk. "Pulang lah! Lagi pula setengah jam lagi apotek tutup"

Dia menggeleng. "Kita tutup sekarang saja, lama-lama disini kau juga bisa jatuh sakit" ia berdiri. "Ayo bersiap"

Bukan karena dia pegawai malas yang seenaknya saja menutup tempat ini diluar jam seharusnya, tapi karena memang dia punya hak untuk melakukannya. Tak ayal dia anak seorang dokter yang tak lain anak dari pemilik apotek ini yang bisa melakukan apapun tanpa takut di pecat. Sedang aku akan bersorak riang di belakangnya. Aku juga butuh istirahat hari ini. Pikiran semalam berhasil membuat ku tak bisa tidur.

Please, Accept My HeartWhere stories live. Discover now