25. Mimpi Itu Tidak Nyata

Mulai dari awal
                                    

Mata Icha mulai berkaca-kaca dan memeluk ayahnya dengan erat. "Icha sayang banget sama Papa dan Mama."

"Udah, ah, Cha. Dilihatin orang beli itu. Masa mau peluk-pekukkan gini di toko Papa."

"Biarin, ah. Icha meluk Papa Icha sendiri kok."

"Pede banget kamu. Papa juga, kan, papanya Farez dan Farel."

Dan Icha langsung melepas pelukannya dari sang ayah.

--**--

Ardo berharap libur semester kali ini diperpanjang saja. Ia tidak mau bertemu dengan Icha. Karena sampai sekarang, ia belum menemukan liontin Icha yang hilang. Dan ternyata doa Ardo sepanjang jalan menuju sekolah tadi, tidak dikabulkan Tuhan. Karena Ardo melihat Icha sudah berdiri di dekat parkiran dengan tatapan yang tidak terlepas dari arah Ardo muncul.

Seketika itu juga Ardo merasakan aura mengerikan menyelimuti area parkiran.

Ardo memarkirkan motornya di dekat motor milik Roni yang kebetulan sudah berangkat duluan. Baru saja Ardo membuka helm, tiba-tiba saja suara Icha sudah berada di sampingnya.

"Ardo! Serigala bersuara kucing! Mana liontin gue? Permintaan satu, dua, dan tiga sudah gue penuhi. Sekarang apa permintaan keempat lo? Atau lo langsung kasih liontin itu ke gue? Mana?" Sifat preman Icha sudah kembali. Ardo hampir saja melemparkan helmnya ketika mendengar suara Icha yang menggelegar di sampingnya.

Sudah cukup Icha menuruti permainan gila Ardo yang tidak penting selama ini. Icha harus fokus dengan impiannya. Hari ini ia harus mendapatkan liontinnya kembali. Bagaimanapun caranya.

"Astagfirullah, Cha. Ini masih pagi, suara lo udah kayak Pak Tri kalau ngasih pengumuman. Kenceng banget."

Icha berdecak kesal. "Jangan ngeles aja mulu lo. Mana liontin gue?"

"Eits, nggak sabaran banget, sih. Itu bibir senyum dikit napa? Biar enak dilihat." Ardo meletakkan helmnya, dan mulai merapikan rambutnya di depan kaca spion. Sedangkan Icha meringis memperhatikan tingkah Ardo. "Tenang aja, gue masih punya 2 permintaan yang harus lo kabulkan." Ardo harus menemukan seribu alasan untuk menyembunyikan kenyataan jika liontin milik Icha hilang.

"Gue bukan jin penunggu lampu ajaib yang bisa mengabulkan semua permintaan lo. Sebenernya mau lo apa, sih? Lo sengaja, kan, mainin gue?" Kali ini emosi Icha sudah mencapai ujung kepala. Dan Icha tidak bisa lagi menahan kemarahan yang selama ini ia tahan. "Ardo Effendi. Gue bukan games yang bisa lo mainin kapan aja. Gue juga bukan robot, yang bisa lo setting buat nurutin semua permintaan aneh-aneh lo. Selama ini gue nggak pernah ganggu hidup lo. Gue nggak pernah kenal sama lo. Jadi ... kembaliin liontin gue dan urusan kita selesai."

Icha berusaha mengatur napasnya yang tersengal karena berbicara tanpa jeda. Tatapan Ardo yang semula tengil sekarang tampak serius dan dingin. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Lo pernah hancurin hidup gue!" suara Ardo sedikit tertahan. Kemudian cowok itu pergi begitu saja tanpa menoleh sedikit pun ke Icha.

"Hah? Maksud lo? Ardo!" teriakan Icha diabaikan Ardo sepenuhnya.

--**--

"Pagi, Icha. Gimana liburan lo?" Meta mengimbangi langkah Icha yang sangat cepat. "Itu kenapa muka jutek banget pagi-pagi? Abis libur juga. Hei, kenapa?" Meta menahan lengan Icha.

"Gue abis berantem sama Ardo," jawab Icha tambah jutek.

"Weh, kenapa bahasa lo kayak orang pacaran gitu, sih? 'Gue abis berantem sama Ardo' Sebenernya, apa hubungan lo sama si kakak kelas manis itu, hem?" Meta menaik turunkan alisnya.

MIMPI [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang