24. Like A Nightmare

Start from the beginning
                                    

"Yah, gimana dong, Cha. Masa gue nggak bisa berangkat? Ini Papa lagi keluar kota. Kakak gue nggak bisa dihubungi sejak tadi malam. Please! Lo bisa kan jemput gue?"

"Iya, iya. Gue jemput. Tunggu di sana. Oke?"

"Thanks, Cha. Lo emang sahabat terbaik gue." Terdengar suara riang dari Nadi.

Icha segera menjalankan motornya menuju rumah Nadi. Tetapi entah karena apa, perasaan Icha saat ini benar-benar tidak enak. Bukannya ia tidak setia sebagai seorang sahabat, tapi di dalam hatinya, tidak seharusnya ia menjemput Nadi pagi ini.

--**--

"Pantes aja, Cha, waktu main basket lo selalu keren kayak anak-anak basket. Ternyata lo juga pernah masuk tim basket sekolah? Hem, beberapa kali gue lihat Pak Sam tuh kayak mengistimewakan lo gitu."

"Perasaan lo aja kali, Met."

"Sumpah, Cha. Gue serius." Meta terdiam sejenak. Cewek itu mengamati wajah Icha yang terlihat sangat mengerikan. "Kenapa kalau perasaan lo nggak enak, lo tetap aja jemput Nadi?"

Icha menghela napas panjang. "Yah, lo tahu lah, Met. Gue orangnya nggak tegaan. Gimana gue bisa ninggalin Nadi gitu aja? Sedangkan anak-anak basket seolah lebih condong ke Nadi dan mengabaikan gue. Nggak mungkin gue berbuat jahat sama Nadi. Nggak jemput dia, dan dia gagal ikut pertandingan basket penting itu. Dan, yah ... meski waktunya mepet banget, gue nekat jemput dia."

"Lagian, itu kakaknya Nadi nggak keren banget, deh. Tega bener adiknya nggak dianterin." Meta bergumam sewot sendirian. Icha tersenyum tipis.

"Gue nggak tahu."

"Terus, terus? Lanjutin, Cha."

--**--

Icha mengendarai motornya hingga kecepatan 60km/jam. Tetapi Nadi yang berada di jok belakang terus merecoki Icha. Membuatnya sedikit gugup dan kurang konsentrasi.

"Bisa cepet dikit nggak, Cha? Udah jam 7 lebih, nih. Positif kita terlambat. Pak Sam pasti ngomel-ngomel nanti." Suara Nadi sedikit tidak jelas karena padatnya jalan raya.

"Gue udah kenceng banget ini, Nad. Gue nggak berani kenceng-kenceng," sahut Icha hampir setengah berteriak.

"Nggak apa-apa. Tambahin lagi. Lebih cepat lebih baik."

Jantung Icha sudah berdegup dengan kencang. Jika ketahuan Farez ia berkendara sekencang ini, pasti Icha sudah dijadikan pecel sama kakaknya itu.

20 meter lagi lampu lalu lintas sudah hampir berubah jadi merah. Icha terlalu kencang mengendarai motornya, dan ia panik. Icha gugup dan sampai lupa di mana letak remnya. Hingga Nadi berteriak memperingatkan Icha.

"Cha, lampunya merah, Cha." Nadi juga panik sambil memukul-mukul bahu Icha. Tetapi Icha sudah tidak sanggup berbicara lagi ketika sebuah truk melintas di depan motor Icha.

Bruakkk!!!

Kecelakaan tidak dapat dihindari lagi.

Yang Icha ingat saat itu hanya darah, suara bising kendaraan, napasnya yang terasa sesak, dan ia tidak tahu Nadi ada di mana. Kemudian semuanya berubah gelap.

--**--

Meta membekap mulutnya sendiri. Ia tidak tahu harus berkomentar seperti apa pada Icha yang sekarang malah menangis tersedu-sedu. Meta beringsut ke depan dan memeluk Icha. Meta tahu bagaimana perasaan Icha saat ini. Tidak mudah bagi seseorang menceritakan kisah kelamnya pada orang lain.

MIMPI [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now