23. Pintu Rahasia

Mulai dari awal
                                    

Dua orang itu mengucapkan salam sebelum masuk ke dalam rumah. Dan saat Icha tahu siapa yang datang, cewek itu seolah mau kabur tapi sudah ketangkap basah. Icha malu bertemu dengan Erlang dengan penampilan mirip gembel.

"Oh, Kak Erlang." Icha berusaha tersenyum. Kemudian Icha berbisik di dekat Meta. "Meta, kenapa lo nggak bilang-bilang mau ke sini sama Kak Erlang, sih?" Icha geram pada Meta. Padahal sejam yang lalu Meta nge-chat Icha dan bilang kalau Meta akan menjenguknya sendiri. Dan kenyataannya, Meta datang bersama Erlang.

Sialan si Meta!

--**--

Icha sudah berpakaian sedikit rapi dengan rambut yang sudah diikat. Tidak lagi memakai babydoll buluk dengan gambar beruang cokelat dan rambut berantakan.

"Diminum Kak Erlang, Meta. Sorry ya, ini muka gue udah kayak abis dipasung 2 hari." Icha terkekeh pelan meski tidak ada yang lucu. Dan ia lebih tepatnya Icha seperti sedang menertawakan dirinya sendiri.

"Iya, nggak apa-apa, Cha," kata Erlang dengan senyum manis seperti biasanya. "Tetep cantik, kok," kalimat terakhir ini diucapkan Erlang dengan sangat pelan.

"Eh, apa, Kak?" tanya Icha bingung. Sepertinya Erlang mengatakan hal yang lain. Tetapi anehnya Erlang malah menggeleng cepat dan tersenyum lagi.

Meta mendekat dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Icha. Icha heran, entah sudah berapa kali dahinya disentuh orang sejak kemarin. Memangnya dahi Icha itu barang pajangan yang disentuh-sentuh banyak orang?

"Lain kali, kalau nyentuh jidat gue pakai cepek, Met. Biar gue cepet sembuh," celetuk Icha dengan entengnya.

"Sialan! Lo sakit tetep aja nyebelin ya, Cha."

Erlang yang mendengar obrolan dua cewek itu langsung tertawa pelan. Hampir tidak bersuara.

"Kak Erlang jangan cuma senyam-senyum dong. Ngomong apa gitu kek," lagi-lagi Icha asal nyeplos.

Setelah itu Meta memulai obrolan dengan menceritakan kejadian-kejadian dua hari ini saat Icha tidak masuk sekolah. Mulai dari kegiatan sekolah yang cuma bersih-bersih saja, sampai dengan tingkah kekonyolan teman-teman sekelas Icha.

Berbeda dengan Meta, topik yang dibicarakan Erlang sedikit lebih serius. Karena Erlang lagi-lagi mengajak Icha membahas tentang lomba menulis. Setidaknya kehadiran Meta dan Erlang seidikit mengurangi kebosanan Icha yang dua hari ini diam di rumah tanpa melakukan apapun.

"Cha, udah sore. Kita pulang dulu, ya. Besok lo berangkat, kan? Atau lo nggak usah berangkat dulu juga nggak apa-apa kok." Meta memeluk Icha erat. "Cepet sembuh ya. Nggak asik kaalau nggak ada lo."

"Gue pulang juga ya, Cha. Cepet sembuh. Biar nanti lo bisa ikut lomba menulis itu. Oke?"

"Makasih banget ya, Kak Erlang. Eh ... Meta," Icha menghentikan kalimatnya karena sedikit ragu. Matanya menatap Icha dan Erlang bergantian. "Gini, Kak Erlang pulang duluan, deh. Gue masih ada perlu sama Meta. Nggak apa-apa, kan?"

"Iya, nggak apa-apa kok, Cha. Kalau gitu gue duluan ya, Met. Permisi," pamit Erlang pada dua cewek itu.

"Iya, hati-hati, Kak. Sekali lagi makasih," sahut Icha.

Setelah Erlang benar-benar pergi, Icha menarik lengan Meta menuju kamarnya. Icha kemudian menutup pintunya rapat-rapat. Icha duduk dengan menyilangkan kedua kakinya di atas kasur, dan Meta masih berdiri dengan tatapan bingung. Perlahan Meta duduk di depan Icha.

"Ada apaan, sih, Cha? Perasaan gue nggak enak, deh."

"Gue mau cerita sama lo. Gue mau jujur sama lo. Tentang sebuah pintu rahasia yang selama ini gue tutup rapat-rapat dan nggak ada satu orang pun yang tahu jika gue masih menyimpan luka di dalam sana," kata Icha dengan raut wajah serius. Tatapan mata Icha terlihat sayu dan rapuh.

Sekarang Meta tahu, jika ada rasa sakit yang selalu disembunyikan Icha. Ada luka yang ditutupi dengan senyum dan tawa riang milik Icha. Semuanya hanya sebuah pelindung dan benteng yang sengaja dibangun Icha agar hidupnya tidak semenyedihkan sinetron dan drama televisi.

"Persahabatan, kepercayaan, impian, luka, dan penyesalan. Meta, gue nggak tahu harus mulai dari mana ..." Icha mulai terisak pelan. Air matanya menetes tanpa henti. Hingga membuat Meta mematung menatap Icha.

Tangan Meta terulur dan menggenggam tangan Icha kuat. "Dari mana aja, Cha. Gue siap menjadi pendengar yang baik buat lo. Ehm, gue juga bisa jadi penasihat abal-abal buat lo." Meta tersenyum tulus. Dan untuk pertama kalinya, Icha mempunyai keberanian menceritakan kisahnya pada orang lain.

----

Holaaaaaaaaaaaa.... Horor. Updatenya tengah malem. Yang penting update kan ya?

Nah, nah... Icha mulai buka rahasia nih. Siap-siap next part, satu rahasia kebuka. Siapa yang kemarin sering nebak-nebak?

Maaf ya, emaknya Ardo sering lembur jadi updatenya telat-telat gini. Yang penting kalian masih setia nungguin anak tengil aku yah

See u...

Love,

AprilCahaya

MIMPI [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang