Part 36 💖Maaf💖

1.8K 108 3
                                    

~Jika sudah pada waktunya, gumpalan awan kekesalan akan begitu mudahnya meluruh untuk meresapi kekeringan kasih sayang oleh yang disayang.~
🌷🌷🌷

Aku tak sabar ingin membukanya. Kakiku segera berlari menuju kamar asrama untuk membuka isi surat dari gus Zidan. “Semoga tidak membuatku baper,” batinku.

Tak terasa, surat yang kupegang itu bergetar-getar sendiri. Hal itu karena ternyata jantungku sedang berdegup tak normal. Napasku pun memburu. Aku sampai kelelahan sendiri karena berlari dengan jantung yang tak sinkron.

Sesampainya di depan kamar asrama, kubungkukkan tubuhku karena terengah-engah. Kuhirup oksigen di sekitarku sebanyak-banyaknya. Setelah kurasa cukup, kulangkahkan kakiku untuk masuk ke kamar asramaku yang tak terkunci. Mungkin, teman-teman sekamarku ada yang di dalam.

Kualihkan tanganku ke handle pintu. “Assalamu’alaikum,” ucapku saat pintu sudah berhasil kubuka.

Benar, di sana ada mbak Nurma dan mbak Safna. Mereka terlihat sedang sibuk nembel kitab sambil lesehan di atas tikar. Karena beberapa hari ini mbak Nurma dan mbak Safna jarang masuk kelas pondok. Mereka sibuk dengan tugas kuliah yang menumpuk. Oh, iya, mereka itu sama-sama mahasiswi dan mereka juga seangkatan di kelas yang sama.

Mbak Nurma menatapku heran. “Kamu habis ngapain, Bia?” tanyanya melihat keringat di dahiku yang masih bercucuran dan napasku yang masih ngos-ngosan.

“Kayak habis dikejar setan aja,” kekeh mbak Safna.

Aku tak menggubris perkataan mereka. Langsung saja kurebahkan tubuhku di ranjang tempatku biasa tidur. “Mbak-Mbak ini, ya, ada orang salam bukannya dijawab,” gerutuku.

Mereka saling pandang. Mungkin, karena mereka terlalu sibuk nembel, jadi tidak fokus. “Wa’alaikumussalam,” balas mereka bersamaan. Dan setelahnya, mereka mengulang pertanyaan yang sama.

“Habis olahraga mata, hati, jantung, dan kaki, Mbak,” jawabku asal. Segera kubuka surat yang sedari tadi kugenggam erat di tangan kananku. Sempat kulirik mereka yang geleng-geleng kepala mendengar jawabanku.

“Surat dari siapa itu, Bia?” tanya mbak Safna saat surat itu sudah kubeber di depan wajahku.

“KEPO!” aku tertawa kecil melihat ekspresi kesal mbak Safna. Kulihat ia sedang mengambil ancang-ancang untuk melempariku dengan bolpoin khusus untuk memaknai kitab.

Hap!

Bolpoin itu berhasil kutangkap dengan tangan kiriku. Tak kugubris permintaannya untuk mengembalikan bolpoinnya.

Udah, diam!” pintaku tetap menggenggam bolpoin itu sambil mulai membaca isi surat di depanku. Salah sendiri mengusikku saat aku akan fokus membaca.

Pembukaan surat masih sama. Perbedaannya terletak pada isi surat yang kali ini sangat panjang.

~Assalamu’alaikum, Hasbia~

Wa’alaikumussalam,” batinku.

~Hasbia, lewat surat ini saya akan bercerita panjang lebar denganmu. Karena ini yang bisa saya lakukan dan karena kamu juga selalu terkesan menghindari saya.

Hasbia, sejak kecil saya menginginkan seorang adik perempuan. Tapi, ternyata ummi saya memberikan adik laki-laki untuk saya. Kamu memang belum pernah melihatnya karena saat ini dia sedang berada di Mesir untuk menuntut ilmu.

Hasbia, sejak awal kedatanganmu di pesantren, kamu sudah menarik perhatian saya. Tolong, ya, pipimu itu dikondisikan! Saya sudah tahu kalau pipimu itu tembam. Jadi, tak perlulah kamu gembung-gembungkan saat kamu canggung sekalipun. Itu sungguh menggoda saya untuk memakan pipimu yang gembil itu. Gemas sekali!!

Tuntutan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang