Part 2 🌩Dadakan🌩

4.2K 229 16
                                    

Bersikaplah biasa pada orang yang membuat canggungmu melanda! Agar tak menjadikanmu bagai berkuda tanpa pelana.
🐎🐎🐎

Libur semester kemarin, tanpa diduga-duga, Dani, seorang guru muda dan masih bujang di sekolah Hasbia datang bersama kedua orang tuanya di rumah Hasbia.

Dia adalah guru pengajar materi Biologi lintas minat di kelas Hasbia.

Dani datang saat Hasbia berada di kamar yang sedang asyik merangkai karangan kisah romansa di laptop warna merah miliknya. Saking fokusnya, seakan kursi dan meja belajarnya pun ikut terbawa emosi dari kisah yang ia buat.

Tiba-tiba, ada yang mengetuk pintu kamar Hasbia. Hasbia menoleh. "Masuk aja, Mas! Bia lagi sibuk," pintanya mengira bahwa orang itu adalah Azka.

"Ini umi, Sayang," kata Yuyun dari balik pintu.

Tanpa ba-bi-bu, Hasbia bangkit dari kursi lalu membuka pintu kamarnya. "Ada apa, Umi?" tanya Hasbia disambut senyuman bahagia oleh Yuyun. Membuat Hasbia bertanya-tanya akan arti senyum itu.

"Sekarang, ayo ikut umi ke ruang tamu! Ada yang sedang menunggumu di sana," ajak Yuyun tanpa menjawabn pertanyaan Hasbia terlebih dahulu.

"Anisa?" duga Hasbia seraya menaikkan satu alis.

Yuyun menggeleng dengan tetap mempertahankan senyum bahagianya. Ia segera menggandeng Hasbia menuju ruang tamu.

Mendadak, perasaan Hasbia dibuat tak karuan. Jantungnya semakin memacu di luar batas.

Sesampainya di ruang tamu, Hasbia dibuat terkejut oleh keberadaan Dani dan sejoli berumur di sebelahnya yang ia perkirakan mungkin mereka adalah orangtua Dani.

"Pak Dani, Umi?! Mau ngapain?!" bisik Hasbia pada Yuyun cemas.

"Salim dulu sana!" balas Yuyun ikutan berbisik.

Hasbia menurut. Ia menyalimi Mela, ibu Dani. Sedangkan dengan Dani dan Umar, nama ayah Dani, Hasbia hanya menangkupkan kedua tangan sambil tersenyum ramah.

"Ini yang namanya Hasbia??" tanya Mela to the point.

Hasbia mengangguk. "Iya, saya sendiri," jawabnya sedikit khawatir.

"Cantik! Sopan pula," puji Mela manggut-manggut, "kamu memang jenius dalam memilih pasangan, Dan." Mela menggoda Dani sembari melirik Dani yang kepergok curi-curi pandang ke arah Hasbia.

Sontak, membuat Dani menunduk karena malu.

"Pasangan?! Pasangan apa ini maksudnya, Bu?" tanya Hasbia keheranan.

Ali dan Umar saling mengedipkan mata. Seolah sedang kode-kodean. Lalu, terkekeh masing-masing. Mereka memang terlihat akrab. Karena mereka telah menjalin persahabatan sejak SMA.

Umar mengambil napas hendak membuka suara. "Jadi, begini, Nak Hasbia. Kedatangan kami kemari adalah ingin mengkhitbahmu untuk putra kami satu-satunya, yang tak lain dan tak bukan adalah guru kamu sendiri, Dani," jelasnya seraya melirik Dani.

Mata Hasbia membulat sempurna. Mulutnya pun sedikit ternganga. Tanda-tanda perasaan yang tak karuan tadi ternyata ini.

Jantungnya kembali berdendang ria. Keringat dingin mulai bercucuran. Tubuhnya mendadak gemetar. Muka dan telinganya pun ikut memanas. Seakan sebuah bara yang tersulut api.
Hasbia masih diam. Kepalanya tertunduk. Rasa takut, khawatir, dan tak enak hati telah bercampur baur di dalam hatinya.

Sementara itu, Dani cemas menunggu jawaban Hasbia dengan jantung yang sama-sama berdendang ria.

Dengan satu tarikan napas yang begitu kuat, Hasbia mengucap basmalah dalam hati lantas menghembuskannya perlahan untuk mengeluarkan segala kekacauan hati yang dirasakannya kini. "Tapi, saya belum lulus sekolah. Dan saya masih ingin melanjutkan ke perguruan tinggi nanti."

Dani dengan cepat menanggapi. "Itu tak masalah buat saya. Saya siap menunggumu. Saya hanya ingin menyampaikan ini karena saya tidak ingin berlama-lama tenggelam dalam perasaan yang salah. Mencintai perempuan yang belum menjadi mahram saya," tutur Dani menambah kegugupan Hasbia.

Dengan mulut bergetar, Hasbia berucap, "Karena itu, maka saya mohon kepada Bapak untuk menghilangkan rasa itu! Bapak mohon petunjuk lagi sama Allah! Mintalah pendamping hidup yang benar-benar pantas untuk Bapak! Karena saya merasa, saya tidak pantas untuk bersanding dengan Bapak."

"Apakah karena saya gurumu?" sahut Dani secara telak.

"Bukan, bukan itu! Itu semua karena akhlak Bapak yang membuat saya minder. Saya masih jauh dari kata sempurna seperti Bapak, manusia hampir sempurna," jawab Hasbia mengakui kelebihan yang Dani miliki.

Sejujurnya, Hasbia sangat kagum atas segala kepribadian yang Dani miliki yang menurutnya hampir sempurna itu. Hal itulah yang membuatnya merasa rendah diri jika diharuskan bersanding dengannya, baik terpaksa ataupun tidak.

"Di dunia ini tidak ada yang sempurna, Nak," sahut Mela.

"Iya, saya tahu itu, Bu. Tapi, maaf. Tidak ada maksud untuk jual mahal atau apa."

"Saya mohon sama Pak Dani, lebih baik Bapak pertimbangkan lagi niat ini! Mantapkan hati Bapak lagi tentang siapa yang akan menjadi pendamping hidup Bapak nanti! Itu saja. Permisi, assalamu'alaikum," pinta Hasbia kemudian berlalu karena sudah tak tahan membendung luapan di dada dan matanya.

Dani mencoba mengejar Hasbia. "Hasbia...," panggilnya lirih.

Membuat Hasbia menoleh. Namun, tiba-tiba pandangannya kabur dan tubuhnya melemas. Terlihat linangan air mata di sana. "Tolong jangan lanjutkan ini, Pak! Saya minta maaf."

Bruggg.

***

Semenjak tragedi lamaran itu, Hasbia menjadi sungkan jika berhadapan dengan Dani. Jujur, ia sedikit was-was untuk masuk sekolah hari ini. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Sekolah adalah kewajibannya. Lagipula, sepertinya Dani juga tak memperpanjang masalahnya.

Lima menit yang lalu, setelah bel istirahat berbunyi, Dani mengajak Hasbia dan Anisa ke kantin untuk membicarakan hal tersebut. Karena ia merasa sampai saat ini Hasbia menunjukkan sikap berbeda kepadanya.

Terbukti, pagi tadi saat Dani dan Hasbia berjalan papasan, Hasbia terlihat mengacuhkannya. Ia berpura-pura tidak tahu jika ada Dani di sana.

Alasannya mengajak Anisa ikut andil dalam acara pengklarifikasian ini adalah demi kemaslahatan masing-masing yang tidak saling mahram. Meskipun, status mereka guru dan murid.

Dani berdeham memecah keheningan yang berdetik-detik telah bersemayam di antara mereka.

"Hasbia, saya minta maaf soal ...," ucapnya membuka pembicaraan dengan kalimat menggantung.

Membuat Hasbia mendongak dan memperlihatkan kedua alis yang saling bertaut seolah berkata, "Apa?!"

"Lamaran saya waktu itu," lanjut Dani was-was.

Sontak, Hasbia kembali menunduk sambil menggigit bibir bagian bawah.

Anisa menatapnya khawatir. Ia sudah mengetahui hal ini dari Hasbia sendiri.

Anisa tersenyum penuh arti. Lalu, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Hasbia untuk membisikkan sesuatu hal yang dapat mengembalikan jati diri Hasbia.

###

18 Agustus 2017

TBC

Tuntutan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang