"Heh? Jadi kalau lo lagi mood bercanda, bisa gue ajak bercanda dong?"

"Apaan, sih."

Hening cukup lama. Tidak ada yang memulai pembicaraan lagi. Icha masih fokus menatap ke arah anak-anak tim basket yang berlatih di tengah lapangan. Sedangkan Ardo, pikirannya melayang ke Nadi. Adiknya itu sudah beberapa kali mendesaknya. Nadi ingin bertemu dengan Icha. Ardo tahu ini bukan saatnya untuk Icha dan Nadi bertemu lagi.

"Cha, lo pernah kehilangan mimpi lo nggak? Maksud gue, lo melepas impian lo demi satu dan lain hal?" tanya Ardo dengan nada pelan dan sedikit berjeda.

"Gue, ehm ... pernah. Dulu. Gue suka main basket. Gue pernah ingin jadi atlet basket nasional. Tapi ..."

"Gue juga pernah seperti itu," ucap Ardo lirih. Tetapi Icha masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Maksud lo, lo juga pernah punya impian sama kayak gue? Jadi atlet basket nasional?" tanya Icha dengan polosnya. Sepertinya otak Icha lagi lemah untuk memproses informasi yang diberikan lawan bicaranya.

Ardo menatap Icha kesal karena cewek itu gagal paham. "Bukan. Maksudnya, gue pernah kehilangan impian gue."

"Oh ya? Jadi orang seperti lo bisa punya impian juga?"

Ardo melirik Icha dengan tajam. Kenapa hari ini cewek itu berkali-kali lipat lebih ketus dari biasanya?

"Gue juga anak remaja yang pantas mempunyai mimpi, Cha. Tapi tidak semua anak bisa mendapatkan mimpinya. Karena itu hanya mimpi. Sesuatu yang akan hilang ketika lo terbangun. Semuanya lenyap, begitu saja."

Icha mengangguk-angguk. "Jadi apa impian lo?"

"Sekarang? Gue nggak punya impian. Sama sekali, nggak punya," jawab Ardo datar. Cowok itu menopang dagunya dengan tangan kanan. "Kalau dulu gue ingin menjadi seorang komikus."

Icha mendekat ke arah Ardo. Tetapi masih dalam jarak radius 1 meter. Icha tiba-tiba saja tertawa lirih.

"Setiap orang pasti punya impian, Do. Nggak peduli meski impian awal lo udah hancur, lo bisa membangun impian baru lo lagi. Seperti tunas tumbuhan yang baru saja muncul. Lo masih punya kesempatan selama lo masih bisa bernapas."

Icha menggeleng pelan mendengar kata-katanya sendiri. Kesurupan jin apa Icha bisa menasehati Ardo dengan kata-kata sebijak itu?

"Kapan-kapan mau tanding basket lagi?" tanya Ardo sambil berdiri dari duduknya. Icha menjawab dengan gelengan keras. Ardo tertawa mengejek. "Itu karena lo udah lama nggak main basket, Cha. Makanya bisa gue kalahin dengan mudah."

"Eh, bentar. Dari mana lo tahu gue lama nggak main basket?"

Pertanyaan Icha membuat Ardo tersentak kaget. Bagaimana bisa Ardo malah keceplosan soal itu?

"Atau lo emang tahu sesuatu tentang gue? Jangan-jangan lo sengaja menahan liontin gue? Iya, kan?"

Ardo gelagapan menjawab pertanyaan Icha. Tidak mungkin ia akan terciduk sekarang juga. Ardo saja belum melakukan setengah misinya. Atau jangan-jangan, Erlang sudah memberitahu Icha tentang dirinya?

"Oh, itu ... gue denger dari gosip-gosip anak-anak di kelas. Soal lo dan teman lo dulu. Selebihnya gue nggak tahu apa pun tentang lo."

Icha menyipitkan matanya. Ia tidak yakin dengan jawaban Ardo. "Gue yakin ada sesuatu yang lo sembunyiin dari gue."

Ardo tertawa keras. "Ada, Cha."

"Tuh, kan! Apaan coba? Bilang sekarang atau gue bunuh lo di tempat ini juga," ancam Icha pada Ardo.

"Rahasia. Jangan lupa, besok kita ketemuan di acara Comic Festival. Atau minta gue jemput?"

Icha berdecak kesal. Ardo pintar sekali mengganti topik pembicaraan. Padahal cowok itu belum menjawab pertanyaan penting Icha tadi.

"Nggak usah!" sungut Icha jengkel.

--**--

Icha baru saja tiba di gedung Comic Festival diadakan. Cewek itu memarkirkan motornya di tempat parkir yang sudah lumayan ramai. Tadi menurut chat dari Ardo, cowok itu menunggu di pintu masuk. Apakah ini kencan terselubung?

Hari ini Icha menggunakan kaos putih dengan tulisan I'm Beauty di bagian depan. Kemudian dipadukan dengan kardigan warna hitam tanpa lengan, celana jins biru gelap dan sepasang sepatu converse putih.

Ternyata Ardo sudah menunggu Icha di sana. Dan Icha merasa aneh ketika melihat pakaian yang dikenakan oleh Ardo senada dengan pakaiannya. Mereka seperti pasangan yang memang sengaja memakai pakaian sama untuk pergi berkencan. Sial.

"Wah, wah." Mata Ardo langsung tertuju pada tulisan yang berada di bagian depan kaos Icha.

"Mata lo lihat apaan?" Icha langsung menutupi bagian dada dengan kedua tangannya.

"Jangan negatif mulu pikiran lo kalau sama gue, Cha. Gue cuma lihat tulisan di kaos lo, tuh."

Icha jadi malu sendiri kalau sudah seperti ini. "Udah beli tiketnya?"

"Udah. Kita tinggal masuk. Ayo, keburu ramai kalau siang dikit." Ardo berjalan lebih dulu. Icha mengikutinya ragu-ragu.

Kalau dipikir-pikir, mereka seperti berkencan sungguhan. Tapi Icha tidak mau berkencan dengan cowok aneh dan menyebalkan seperti Ardo. Minimal harus seperti Bang Farez, meski sering jahil, kakaknya itu tipe cowok yang sangat perhatian. Tapi bukan berarti Icha akan berkencan dengan kakaknya sendiri.

"Icha." Panggilan Ardo membuat Icha berhenti menatap deretan stiker lucu dari tokoh-tokoh karakter anime. "Kalau lo Beauty, gue The Beast dong? Eh, bukan, deh. Gue The Handsome Prince. Jadi kalau kita yang main film itu, judulnya ganti Beauty and The Handsome Prince. Gimana?"

Icha mengerutkan keningnya bingung dengan arah pembicaraan Ardo. "Lo ngomong apaan, sih?"

"Lupain. Anggap aja tadi gue nggak ngomong sama lo." Setelah mengucapkan hal itu Ardo pergi meninggalkan Icha yang masih bingung sendiri.

-------------------------------


Siapa yang tebakannya soal Nadi?

Sebenarnya apa sih misinya si Ardo tengil?

Terus apa penyebab hancurnya hubungan persahabatan Icha dan Nadi?

Lelah tebak-tebakan? Padahal aku nggak pinter bikin tebak-tebakan lho. Hehehehe. Tapi aku enjoy banget nulis cerita ini. Yah, semua karena kalian juga. Thansk for all.

Sampai jumpa hari Rabu minggu depan.

See you,


Xoxo,


AprilCahaya

MIMPI [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now