The worst part

1.8K 219 4
                                    

Abraham memasuki kamar Jillia setelah mengatakan kepada orang tuanya dia ingin melihat perempuan itu dan meminta bicara dengan Jillia. Alasan sederhana, ingin mengetahui bagaimana kecelakaan itu terjadi kepada Jillia. Dan mereka memberikan waktu untuk Abraham.

Istrinya menatapnya dengan tajam ketika dia mengambil duduk di sebelah ranjang istrinya. "Kita cerai aja, Bra..."

Abraham mengernyitkan keningnya. "Kali..."

"I know. Kamu gak sayang aku, buat apa kita ada di pernikahan yang cuma akan nyakitin kita berdua. You don't love me. And i don't want you anymore..." Jillia menghela nafasnya, "Bukan aku capek, Bra. Kecelakaan kemarin bikin aku sadar, walaupun aku kejar kamu sampai mati, kamu gak akan noleh ke aku, so let's divorce..."

"Kamu ngomong apa?" Abraham berusaha mengalihkan perhatiannya dengan mengambil buah di meja Jillia dan mengupasnya, "Kali..."

"Sudah. Aku tau kamu capek berusaha menerima aku. Kalo kamu takut semua aset aku, aku ambil. Gak perlu kamu pikirin. Aku kasih itu buat kamu..."

Abraham menatap istrinya, "Kali. Kamu masih pengaruh obat, jadi pikiran kamu gak---"

"Aku udah sadar, Bra. Dari dua hari yang lalu. Dan kamu baru datengin aku sekarang. Shows me how much you care about me..." lalu Jillia menganggukkan kepalanya pelan, "Udahlah. Toh, emang gak ada salahnya kalo aku sama Argo..."

"He don't love you..."

"Dia cuma gak sadar dia sayang sama aku. Gak kayak kamu, yang tau dan sadar kalo emang gak sayang aku..."

Abraham kehilangan kesabarannya sekarang. Dia menggenggam buah ditangannya dengan cukup keras lalu berdiri begitu saja. "We never have this conversation..."

"We have..." Jillia mengambil tas kecil yang dia sempat minta asistennya untuk dibawakan. Mengeluarkan lembaran yang sudah dia masukan rapi ke dalam sebuah amplop dan melemparkannya kepada Abraham. "I know what you did to me, Bra. Pas aku tanya ke dokter dan aku ganti dokter aku. Dia bilang aku udah terlalu banyak minum obat supaya aku gak bisa hamil. Aku berpikir keras siapa dan bagaimana obat-obatan itu masuk ke badan aku. Terus aku sadar kamu yang manis selama ini ternyata ngelakuin ini ke aku..."

Pria itu menarik nafasnya. "Kali..."

"Apa kamu tau dampak berkepanjangan obat itu ke aku, Bra? Gak, kan? Kamu cuma mikirin diri kamu sendiri... Aku tau akhirnya kamu gak bisa sayang sama aku tapi aku mencoba tetep bertahan because this is marriage we're playing..." perempuan itu menelan ludah, "Dan Argo telfon kamu terus aku sadar kalo kamu memang bukan buat aku, kan? Jadi buat apa aku sama kamu lanjutin pernikahan ini? Kalo kamu emang mau harta, fine. Kamu aja yang ambil semuanya. Kalo emang mau dukungan Papa, aku bilang sama Papa... Tapi, sudah. Aku bosan kamu bohongin. I'm done... Ceraikan, aku"

Pria itu terdiam menatap Jillia. Dia menatap dengan meneliti apakah perempuan itu masih dalam pengaruh obat atau tidak. Memutuskan mengambil amplop coklat yang jatuh ke lantai dan memasukkannya ke dalam tas perempuan itu kembali. Dia mendekat kepada Jillia

Perempuan itu menegang ketika Abraham mendaratkan satu kecupan di puncak kepalanya dan kemudian berakhir di keningnya.

Sebelum pria itu keluar dari ruangan. Ada kalimat yang membuat Jillia semakin ingin menghindari Abraham.

"We never have this conversation, Kalila..."

...

Lima jam berikutnya, Abraham kembali masuk ke dalam kamar rawat Jillia dengan membawa satu buket bunga untuk istrinya itu dan tebak apa yang dia dapatkan

"Masih sama, Abra. Kapan aku bisa terima tanggal persidangan kita?"

Dia melihat istrinya duduk dengan kedua tangan melipat di depan dada. Sepertinya perempuan itu masih belum selesai dengan keinginannya. Jillia, so typical of her.

"Sini bunganya..."

Abraham menyerahkannya dan kembali menatap tajam ketika akhirnya Jillia melemparkan buket itu begitu saja ke pintu kamarnya.

"Tolong buangin dan jangan masuk lagi..."

"Ini yang kamu mau?"

"Ya..." jawab perempuan itu dengan sangat datar kepada pria yang sedang menatapnya

"Kali..."

"Argo masih belum sadar..."

"Dan kenapa kamu bahas kakak aku sekarang?"

"Karena aku yang bikin Argo kehilangan Jillia, karena aku yang bikin Argo nungguin aku selama ini. Dan..." perempuan itu menajam, "Aku yang bikin dia kecewa karena aku bilang aku milih kamu..."

Abraham diam. Menajamkan pandangannya pada Jillia yang melakukan hal sama kepadanya. "Kamu belum sehat..."

"Karena aku dia belum sadar..."

"Cuma itu alasan kamu jadi begini?" Tanya Abraham memastikan. Dia tidak menyukai bagaimana Jillia yang menjadi keras kepala begini kepada dirinya

Perempuan itu mengangguk. "Argo alasan aku buat hidup sekarang, Bra. Ceraikan aku..."

"Terus berharap, Kalila Januraksa..." lalu mengecup bibir Jillia begitu saja dan kembali meninggalkan Jillia yang mematung

Perempuan itu menatap kepergian Abraham dan kemudian mengusap bibirnya dengan pelan. Dia lelah. Menghadapi Abraham membutuhkan banyak tenaga dan menguras emosinya.

Julia masuk ke dalam dengan keadaan bingung melihat dirinya.

"Mama bisa bikin aset aku buat Abra? He needed it. Kakaknya lagi koma dan Abra yang pantes buat Januraksa..." lalu Jillia melihat perempuan itu duduk di pinggiran ranjangnya dengan kebingungan, "Please let me live alone from now, Ma. Aku gak bisa begini terus. Aku gak mau dimanfaatin terus-terusan..."

"Kalo itu bikin kamu bahagia, Mama akan siapkan semuanya..."

Jillia memandang ibunya dengan tersenyum. "Tolong, Ma..."

Nostalgiaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن