Definitely no

1.8K 233 11
                                    

Jillia menggeram untuk ke sekian kalinya. Tubuhnya sudah melengkung mengikuti gerakan Abraham yang bergerak diatasnya. Cengkraman tangannya pada sprei membuat kasur itu sekali lagi berantakan tidak menentu.

Dia bernafas dengan bersusah payah. Ritme gerakan mereka semakin cepat. Jillia menarik rambutnya sendiri, semakin tersiksa atas kenikmatan yang diberikan oleh Abraham. Laki-laki tidak tahu diri itu malah tersenyum dan kembali menghujamnya tanpa memberikan ampun.

"Ah! Shit!" Abraham nyaris saja berteriak ketika mendapatkan pelepasannya. Dia memejamkan mata beberapa saat sambil menghela nafas. Tuhan maafkan dirinya yang kembali terbuai oleh tubuh memabukkan Jillia sekali lagi

Jillia menggigit bibirnya ketika kedua tangan Abraham meremas payudaranya. Dia kehabisan nafas setelah adegan panas mereka. Laki-laki itu mengecup puncak payudaranya dengan lembut lalu terjatuh di sampingnya.

Satu tangan Abraham sudah menutupi matanya dan mencari oksigen sebanyak mungkin yang bisa dia dapatkan. Selalu begini dan dia tidak bisa menampik kalau dia mulai menyukai semua kegiatannya dengan Jillia.

Jillia yang merasa lelah hanya terpejam sambil bergelung manja dengan selimutnya. Sementara Abraham, berdecak beberapa kali ketika dia mendapatkan kesadarannya.

...

"Mama..."

Aura mengangkat kepalanya menatap putra bungsunya yang sudah datang membawa satu cangkir kopi. "Abra, Mama kira kamu sampai kemarin. What bring you here? Kakak kamu sudah hampir selesai sama obsesi kuliahnya... Kamu bagaimana?"

Anak bungsunya mengambil duduk di kursi depan ibunya. Meletakkan cangkir kopi itu dan kemudian menatap tajam pada ibunya, "Mama beneran mau jodohin Argo sama Jillia?"

Ibunya mengernyitkan kening, pertanda kalau perempuan itu tidak mengerti apa yang dibicarakan anaknya, "Sayang, bukannya mereka dari dulu emang sudah dijodohin, ya? Pertanyaan kamu kok..." namun beberapa detik kemudian ibunya bertanya, "Kamu suka Jillia? Mama kira kamu sukanya sama Almarhum Kalila..."

"Ma..." Abraham menelan ludah, "Bukan ketertarikan dalam hal itu sih..."

"Kamu mau ngomong apa sebenarnya, Abra? Mama gak punya waktu buat ini. Papa kamu sama ibu tiri kamu baru akan datang ke Jakarta satu bulan lagi, jadi bisa bantu Mama...?"

Abraham menggelengkan kepalanya, "Ah. Terserah deh. Anak Mama sama Papa kan cuma satu, ya?"

Aura menghela nafas, "Abra..." dia memutuskan membuka kacamatanya kemudian dengan tenang mengatakan, "Kalau kakak kamu yang menikah sama Jillia, dia bisa dapet sedikit dari perusahaan Elwood, dia yang jalankan perusahaan Elwood. Kamu..." ibunya menunjuk dirinya dengan tenang, "Kamu yang bisa teruskan perusahaan kita, Abra..."

Anak itu tidak bicara lagi, dia memilih bangkit dari duduknya

"Kakak kamu, yang paling sempurna di mata Dominique. Everyone wants him, don't try to steal his place..."

"Yeah, like i would. Aku pergi, Ma..." katanya tanpa membalikkan badan lalu keluar dari ruangan ibunya. Kakaknya ya selalu saja kakaknya

...

Bagaimana kalau begini? Dia saja yang menikahi Jillia agar Elwood bisa melihatnya, Julia bercerai dengan ayahnya, perusahaan Januraksa jatuh ke tangannya bukan kakak sintingnya itu. Lagipula belum ada jaminan kalau Argo akan tetap baik kepadanya kalau kakaknya itu mendapatkan apa yang dia mau.

Baiklah, yang Abraham inginkan adalah, ibunya melihatnya, ibunya kembali kepada ayahnya, Julia dan ayahnya bercerai, kakaknya tidak perlu menikah tipu-tipu, dan dia bisa melakukannya kalau dia benar-benar menikahi perempuan itu. Lagi pula, dia tahu siapa Jillia yang sebenarnya.

"What is this...?" Jillia melangkah dengan kebingungan ketika salah satu pelayan rumah Januraksa mengatakan Abraham menunggunya di halaman belakang dan mendapatkan satu meja romantis dengan lilin yang menyala di tengahnya

"Dinner..." kata laki-laki itu kemudian tersenyum dan memasukan satu tangannya ke saku celananya, "Come here..."

Jillia menggelengkan kepalanya, "Dimana-mana ceweknya di jemput. Ini malah disuruh dateng sendiri. Tadi pagi juga ninggalin sendiri, just after tou touch me... Bersyukur gue jatuh cinta sama lo, Bra"

Malas untuk membalas, Abraham hanya mengikuti gerakan perempuan itu dengan kedua matanya. Perempuan itu sudah duduk di depannya. Dia mengetukkan jari ke meja beberapa kali. Abraham tahu apa yang akan terjadi kalau kakaknya yang menikahi gadis ini. Dominique itu penipu, dia tahu sekali. Bukannya menyerahkan kekuasaan, pria itu justru hanya akan menjalin kerja sama ke perusahaan keluarganya. Bukan seperti yang ibunya inginkan. Jadi bagaimana kalau dia tusuk saja dari belakang? Menggunakan Jillia yang sedang sibuk menjadi salah satu branch manager di perusahaan pria itu.

"Bunganya bikin bersin. Tapi gue suka banget..." perempuan itu tersenyum kepadanya

Abraham menegakkan tubuhnya, mengambil satu cincin yang dia selipkan di sakunya, "Hey..." panggilnya membuat perempuan itu menatap kepadanya, "This is so sudden but, i want to ask you, Kal..."

Perubahan panggilan nama ini membuat Jillia menghentikan aktivitasnya, "Apa?"

"Gue udah capek main kelinci-kelincian sama lo, jadi..." Abraham mengeluarkan cincinnya tanpa keraguan dan gugup sama sekali. Dia mengambil tangan Jillia begitu saja, memasangkan cincin itu di jari manis Jillia, "Marry me..."

Jillia menatap takjub, sampai membuka bibirnya tapi tidak tahu akan berkata apa. Di usianya yang ke 25 ini, akhirnya salah satu keinginannya terwujud, menikah. Ditatapinya lagi satu-satunya pria yang selalu kembali padanya. Mengangguk dan memeluk Abraham dengan erat.

Pria itu membalas pelukannya, Abraham menatap ke jam tangannya ketika Jillia memeluknya. Kata orang, jantung akan berdegup kencang ketika momen ini tiba. Tapi Abraham tidak merasakan perubahan pada denyut jantungnya dan membandingkannya dengan detik jam di tangannya.

Ah, shit. You just make another mistake.

NostalgiaWhere stories live. Discover now