I wish we knew

1.9K 239 3
                                    

Jillia pikir, Abraham akan mengatakan sesuatu kepadanya sebelum anak laki-laki itu berangkat study tour. Sekarang, dia hanya bisa membatu memandangi lembaran di tangannya ketika Julia datang dan merapikan salah satu clutch milik putrinya

"How was the prom? Mama gak bayar tagihan sampe lima juta cuma buat bikin kamu murung begini..." kata perempuan itu

Jillia tahu ibunya mencoba untuk menghiburnya yang sedang sedih. Tapi kemudian dia tidak banyak menanggapi. Hanya menggerakkan telapak tangannya dengan malas lalu berkata, "Flat. Aku bukan queennya. Lagian, Argo gigit-gigit kuping aku selama dansa. That was gross"

Julia membuka mulutnya dengan bingung. "Ah... Kalian kan... Masih kecil... Nanti Mama tegur Argo... Kuping kamu gak apa-apa?"

"Fine. Partynya cuma bentar habis itu aku ajak Argo pulang. Tadi pagi dia baru balik ke rumahnya..."

Julia mengerti. Tapi dia tidak bisa tidak bertanya kepada Jillia lebih jauh kenapa Argo sampai menginap sekian lama di rumah mereka. "Kamu tau, kan? Kamu masih sekolah, dan punya bayi itu bukan hal yang mudah..."

Jillia melirik ibunya. Mengerutkan keninnya kemudian kembali melambaikan telapak tangannya dengan super bitchy, "Trust me, aku masih virgin, Ma. Argo gak sekurang ajar itu..."

"Oh..." Julia menghela nafas dengan lega dan kemudian membelai dadanya. Hampir saja dia berpikiran macam-macam soal anaknya ini. "Tapi kalian sering satu kamar..."

"Yah. Itu karena aku suka tidur di tangannya Argo. Pelukable..." lalu Jillia melihat ibu tirinya itu membelalakkan mata menatapnya, "Kidding. Argo itu agak-agak overprotective sejak Kenneth... Remember Kenneth, kan?"

"Ya... Kenapa sama Kenneth?"

Jillia mengedikkan bahunya, "The Januraksa gak suka sama Kenneth. Jadi Argo agak overprotective. Terus dia suka banget tarik-tarik aku ke pelukannya..."

"Abra gimana?"

Sejenak, Jillia terdiam. Dia juga bertanya-tanya soal Abra. Yang sejak Jillia meninggal, sudah tidak pernah bersikap seperti dulu kepadanya. "Well, he's out of my league..."

Julia memahami maksud putrinya kemudian membelai puncak kepala Jillia dan berkata, "It's okay. Lagi pula kamu kayaknya lebih butuh Argo disamping kamu. Bukan Abraham, kan? Papa juga suka sama Argo..."

"Tapi mereka berdua itu gak bisa pake hati, Ma..."

"Do you think every people in this world using their heart? Enggak sayang. Mama jatuh cinta sama Papa kamu, i mean. Okay..." Julia kemudian menatap Jillia dengan lembut, "Tara sama Mama sama-sama jatuh cinta. Tapi yang buat kita menikah adalah pemikiran panjang like, oke Mama bisa mengimbangi cara berpikir Tara..."

Jillia mengerti apa yang Julia jelaskan. Perempuan ini sedang menjelaskan mengenai hubungan Julia dengan ayah kandungnya yang sudah meninggal

"Dan kami memutuskan untuk hidup bersama karena kami berpikir kalau kami bisa mengatasi masalah kami. Bukan cuma cinta yang membuat kami bertahan, Jillia. Tapi logika juga..." Jillia mengambil tangan putrinya kemudian berkata kembali, "Jadi, tidak cuma hati kan? We need brain to think about Logic, Jillia..."

"Maksud Mama?"

"Kalo Januraksa gak punya hati, that's fine. Mereka masih punya otak mereka buat mikir apa yang mereka butuhin, kan?"

Jillia menghela nafas menyadari maksud ucapan ibu tirinya dengan penjelasan seperti ini. Dia mengerti kalau akhirnya Januraksa tidak akan dekat dengannya seperti ini tanpa apa-apa

"Lengkapi alasan mereka untuk membutuhkan kamu, nanti kamu akan dapatkan mereka sepenuhnya. Tapi Mama rasa Argo saja cukup sayang, dia sudah memberi kamu lebih dari yang kamu butuhkan..."

Jillia menggelengkan kepalanya dan menatap balik ibu tirinya, "I don't know..."

"Kalo kamu bilang begitu artinya hati kamu terbagi juga? Atau kamu sebenarnya cuma mau mereka saja?"

Gadis itu mengerutkan bibirnya, "Argo itu sahabat aku, Ma. Aku sedih dia kayak gini. Maksud Aku, aku gak bisa biarin Argo kayak hilang arah begini..."

"Abra?"

"Aku suka Abra..."

Lalu Julia melanjutkan seolah-olah itu adalah kalimat yang selalu ingin Jillia ucapkan tentang perasaannya, "Tapi Abra gak memberikan apa yang kamu butuhkan"

Anak gadisnya menganggukkan kepala dengan lemah, setuju dengan ucapan itu. "Bukan soal apa, Ma. Tapi siapa. Even hanya senyum kecil tapi kalo itu Abra, i think i'll be fine"

"Well, kamu masih tujuh belas tahun. Wajar kalo masih galau..." Julia mengeluarkan selembar tiket kemudian berkata kepada anak gadisnya yang sedang kebingungan, "Kamu akan ke Yale dan disana belajar dengan benar, Jilli. Sekalian, kamu juga akan refreshing disana. Mama rasa kalian butuh jarak..."

"Yale? Bukannya aku harus ke Harvard sama Argo?"

Julia tersenyum sekali lagi, "No, you're not. Take your time honey... Comeback to me as soon you get your bachelor degree, okay? I'll miss you"

Hidup terpisah dari Januraksa sama sekali bukan keinginannya. Bagaimana mungkin? Siapa yang membuat ide bodoh ini? Jillia mengerucutkan bibirnya menatap sang Mama. Jadi sekarang dia diusir sejauh ini dari rumah? Berapa lama Boston dan Conectitut kalau menggunakan mobil? Dia pasti akan hilang arah tanpa Januraksa.

NostalgiaWhere stories live. Discover now