That stupid things

1.8K 239 3
                                    

"Apa?!" Argo meremas lembaran di tangannya dengan cukup kasar. "Papa bisa pindahin aku ke Yale?"

Edgar mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti kenapa anaknya tiba-tiba menjadi seperti ini. "Go. LOA kamu bilang kamu itu di Harvard. Dan Papa sudah bayar biaya pendidikan kamu sama asrama kamu. Kalau kamu transfer ke Yale, kamu pikir apa yang bakalan mereka pikir? It's ridiculous, Argo. Perkataan kamu..."

"Pa, Jillia pergi ke Yale..."

"Kalau kamu mau ke Yale, kamu harus mengulang pendaftaran dan belum tentu lulus Argo..."

"Tapi Jillia bisa tiba-tiba pindah ke sana..."

"Karena Mamanya bisa memindahkan dia sedangkan Papa gak bisa. Ingat Papa bilang apa?" Edgar menuding wajah anaknya kemudian menatap tajam putra sulungnya, "Apa pilihan pertama kamu kemarin? Harvard, kan? And you got Harvard after three years trying hard. And your hardwork has been paid. Jadi kenapa kamu membuang apa yang kamu inginkan tiga tahun ini, Go?"

"No" Argo mengeraskan rahangnya, "Pa, aku ke Harvard karena aku sama Jillia sudah berencana kesana sejak tiga tahun lalu. She told me that. Dan sekarang Tante Julia mindahin Jillia kesana..."

"Son. Tidak selamanya kamu dan Jillia bersama. Just keep a distance. Mungkin Julia mau anaknya gak dekat-dekat kamu dulu..." Edgar kembali menghela nafas, "Papa tau kamu sama Jillia dekat. Kalian ambil jarak dulu..."

...

"Papa kamu marah sama kakak kamu, Bra. What have you done? Apa kamu bikin salah sampe kakak kamu yang cover or what? Mama gak suka ya Abra kalo kamu cari gara-gara sama kakak kamu..."

"Hah? Mama punya pikiran dari mana? Aku aja lagi di Melbourne lagi belajar soal musik kontemporer. It's like summer school ternyata, Mama tau disini ada koala yang gedenya hampir sama kayak..."

"Abra... I'm talking bout your brother now. Mama gak mau kakak kamu kenapa-napa. He's all Januraksa's need. Kamu tau kan? Kenapa kamu gak bisa jagain kakak kamu..."

"Ma..." Abraham menghela nafas dan kemudian berdehem dengan pelan, "Apa gunanya Mama nelpon aku kalo ujung-ujungnya nanyain Argo yang sekarang aja beda benua sama aku? You're nonsense, Ma..."

"Abraham Januraksa, kamu tau Mama sayang sama kamu, kan?"

"Yep..."

"Kamu tau kalo dia marah seperti apa, kan? It's all for the best, Bra. Kamu bisa selamanya main-main dan bikin Argo yang handle semuanya. Jangan kamu ganggu kakak kamu sama kenakalan kecil kamu. Mama tau ini pasti ada hubungannya sama kamu..."

Abraham memutuskan untuk mematikan saluran telponnya. Mamanya dan semua omong kosong perempuan itu. Tetap saja dia merasa senang sudah merusak rencana indah kakaknya. "Yah, emang aku sih, Ma. Gak seru dong kalo nanti aku ke Harvard juga terus ada Jillia di sana. Man pride..."

...

"Call me whenever you need me"

Jillia menganggukkan kepalanya lalu melepaskan pegangannya pada lengan Argo dan kemudian menatap sendu kepada anak laki-laki itu. "Baik-baik, ya..."

"Ya. Lo juga. Gue tau lo barengan sama Raven, gak usah sungkan sama Ravenia, gue kenal sama dia..."

"Hm..."

"It's just 4 years kan, Ji? Lo bisa kan nanti urus paper lo sendiri sama semuanya? Jangan tidur terlalu malem dan selalu bawa termos ke kamar, minum air hanget waktu pagi..."

"Lo bisa nelpon gue cuma buat ingetin itu, Go. Kita share time zone yang sama, seinget gue..." Gadis itu mencoba tersenyum dan akhirnya melipatkan tangan di depan dadanya menatap Argo, "I'll be good. Dan oh, ya. Jangan cari cewek ya, kasian mereka nanti kena php. Lo kan gak bisa suka sama orang lagi..."

Anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya kemudian tersenyum. "Okay. Ji, inget ya. Telfon gue. Kalo gue nelfon lo angkat. Lo kapan berangkatnya? Pembekalan lo berapa bulan?"

"Gak tau. Mungkin lusa atau minggu depan. Sama Ravenia kok..." lalu gadis itu berpikir dengan mata bundarnya yang menatap Argo, "Pembekalannya satu tahun. Tapi kalo cocok kayaknya gue cuma sebulan..."

"Good girl..." Argo tertawa dengan pelan, "Okay, Ji. I'll go. Take care for me..."

"Hm..." Jillia melepaskan genggamannya lalu melambai ketika anak laki-laki itu berbalik meninggalkannya, "Empat taun, ya?"

NostalgiaWhere stories live. Discover now