How did i lose it when i was right there

1.7K 188 0
                                    

"What? Mama mau mundur dari jabatan dan ngasih Argo?"

"Memangnya ada yang lebih pantes dari kakak kamu, sayang?" Aura menarik lengan blousnya kemudian menyerahkan sebuah map kepada Abraham yang berdiri di depannya. "Dominique minta pertunangan kakak kamu sama Jillia diadain bulan depan. Jadi Mama mau kasih saham Mama buat Argo sebagai kado..."

Abraham mengeraskan rahangnya. "You never thought about me, have you? Selama ini anak Nyonya Aura cuma Argo, kan?"

"What are you talking about?" Aura menghela nafasnya dan melepaskan kacamatanya, "Kamu itu kan punya saham di Elwood. Kenapa kamu iri sama kakak kamu, Bra?"

"Iri...?" Abraham mengeraskan rahangnya sekali lagi. "I'm done, Ma. Aku capek sama semua ini. Perusahaan gak bikin aku dilihat sama Mama. Bahkan aku masuk polisi dan babak belur aja Mama sama Papa gak ada buat aku..."

Aura mengernyitkan keningnya. Menyipit memandang putranya.

"I need a break..."

"Ya, kamu memang butuh liburan..."

Pria itu menaikkan satu bibirnya dengan tidak suka. "Liburan? Mama pikir aku butuh liburan? Terserah. Mama gak pernah mikirin kenapa aku begini, kenapa aku begitu. Yang Mama pikir aku cuma minta uang..."

"Why are you talking nonsense like this, Abraham?" Aura sudah mengambil tiga langkah lebih dekat kepada putranya dengan melipat tangannya menatap Abraham, "Dengar ya, kalau Mama gak kerja keras seperti sekarang. Kamu gak akan punya channel di mana-mana supaya kamu bisa masuk perusahaan dan punya saham di sana. Remember that. Dan kamu harusnya pikir kenapa hanya kakak kamu yang Mama mau urus perusahaan kita. Jadi kamu bisa cari cita-cita lain dan kamu ikutin apa mimpi kamu Abra..."

Abraham menggelengkan kepalanya. "Tapi pengertian aku beda, kan? Aku malah pengen bantuin perusahaan Mama. Aku gak pengen jadi yang lain but you only see my brother. Bahkan kalian bercerai dan gak mikirin aku sama sekali. What are you? Parents? Mom? Atau cuma perempuan yang bawa-bawa aku sembilan bulan dan menyesal karena aku gak lebih baik dari Argo?"

"Stop, Abraham. Kamu cuma iri sama kakak kamu..."

"Ya, iri. Karena dia selalu dapet perhatian Mama sama Papa sementara Aku gak kalian urusin..." Abraham menggelengkan kepalanya, "Kalo aku dapet Elwood apa Mama bakalan liat aku?"

"Wait..." Aura menggelengkan kepalanya, "Abra... Kamu..."

"Gak?" Abraham menatap tajam kemudian. "Jadi Argo sama Jillia mau tetep dijodohin walaupun kalian tau Jillia itu sukanya sama aku?"

Aura menghela nafasnya dengan berat. "Buat apa kami bikin Jillia tunangan sama kamu kalau kamu sendiri gak suka sama dia Abra..."

"Well the same goes with you and dad. Kalian gak saling suka tapi ada Argo sama Aku..." Abraham kembali menaikkan satu sudut bibirnya, "Argo benci sama aku, Ma. That's the one thing everyone doesn't know about..."

"Kamu ngomong sudah kayak orang mabuk, Abraham..." Aura hampir saja menampar putranya ketika dia mendengar ucapan putranya itu, "Selama ini dia yang paling sayang sama kamu..."

"Mungkin karena aku masih guna. Belum liat Argo yang mukulin aku, kan?" Lalu Abraham menatap tajam, "Let's see kalo dia yang bikin Aliyah sama aku tinggal nama karena kita udah gak ada harganya..."

Lalu Aura melihat anaknya melangkah keluar begitu saja dengan kening mengernyit. Sejak kapan Argo membenci adiknya. Seingat Aura, Argo baik-baik saja kepada adiknya. Terutama kepada Abraham yang selalu menurut padanya.

...

"Jilli, kenapa mukanya ditekuk-tekuk?" Tanya Argo ketika Jillia sudah duduk di sampingnya dan sejak tadi masih terdiam. Perempuan itu terlihat lelah dan tidak bersemangat menjemputnya

Jillia mengerutkan keningnya, "Wait..." dia baru menyadari sesuatu kalau mereka sama sekali tidak berada di Jakarta sekarang. "Go, ini kita kemana?"

"Apartement gue. Pulang ke sana. Is that okay? Atau lo mau balik dulu ambil baju?"

Jillia menggelengkan kepalanya sementara pria itu sudah melajukan kembali dengan kecepatan tinggi mobilnya. Mereka hanya terdiam sepanjang perjalanan dan kemudian Argo membelokkan mobilnya ke salah satu bangunan yang Jillia kenali sebagai apartement pria itu sejak satu tahun yang lalu.

Mereka turun dan Argo sudah menggandengnya menuju lantai 6 kemudian masuk ke dalam sebuah apartement cukup luas. Jillia hanya menghela nafas dan mengistirahatkan dirinya di salah satu sofa sementara pria itu mandi.

Entah sudah berapa lama Jillia termenung memikirkan ucapan suaminya, sampai Argo duduk di sebelahnya tidak menyadari pria itu menyalakan tv.

"Lo ada masalah kayaknya..."

Jillia terhenyak. Bingung. Dia ingin mengatakan semua masalahnya kepada Argo hanya saja, pria itu pasti akan sangat tidak terima dengan keadaan ini. "Yah..." Jillia menatap Argo cukup lama, "Go, lo masih marah ya soal Abra, gue sama Jillie?"

Argo menoleh dengan tajam. Pandangan matanya berubah menjadi lebih dingin. "Jilli..." dia mendesah dengan pelan. "Ngomong apasih? Oh iya, lo belom mandi, kan? Mau gue lulurin gak? Udah lama juga..."

Jillia menganggukkan kepalanya mengikuti Argo yang akhirnya mengambil scrub yang memang sudah ada di kamar mandi. Jillia menyerahkan lengannya dengan kebingungan yang melanda. Apakah pria yang sedang membalurkan lulur di lengan kirinya.

"Jillia... Aku sayang sama kamu..."

Kata-kata itu terdengar lebih tulus dari yang biasa Abraham ucapkan kepadanya. Jillia menatap lurus kepada kakak iparnya itu

"I'm sorry..."

Jillia menemukan Argo yang sebenarnya

NostalgiaΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα