Invalidite | 26

Mulai dari awal
                                    

Dewa mencengkram kedua tangan Siska. Berusaha sekeras mungkin tidak mematahkan tangan cewek itu. Mungkin sedikit gagal karena Siska justru meringis. 

"Gue gak akan pernah make lo lagi jadi model." ucapnya telak. Kalimat singkat yang berhasil membulatkan mata Siska detik itu juga.

"Hah?! Maksud lo?"

"Tika ngasih tau gue kejadian di wardrobe," Dewa maju selangkah. Dimana hal itu tiba-tiba menjadi menakutkan bagi Siska karena aura cowok itu yang berubah mengerikan. "Dan itu udah ngelanggar batas kesabaran gue."

"Gue salah apa emang? Heran, apa cuma gue yang punya mata di sini dan bisa ngeliat dengan jelas kalo Pelita itu cacat?!"

Kedua tangan Dewa terkepal. 

"Lo gak mikir, Wa?" Siska bersidekap. "Kalo gue keluar, bakal banyak model lain yang bakal ngikutin gue. Karena gue yang bawa mereka kesini. Lo ngusir gue, sama aja lo kehilangan sebagian model lo juga."

Dewa mencoba mengingat kapan dia pernah semarah ini. Ah, ya. Ketika dulu kakeknya menyepelekan kematian Papa-Mamanya.

Dengan raga dewasa yang ia miliki sekarang, ditambah rasa amarah itu, rasanya Dewa hampir siap membunuh.

"Jangan. Pernah. Muncul. Di hadapan. Gue. Lagi. Gue udah berbaik hati gak ngusir lo di depan yang lain. Jadi sebaiknya lo cukup tau diri buat pergi sekarang, karena lo ga akan bisa bayangin seberapa muaknya gue ngeliat lo."

Kalimat penuh bernada dalam itu tak pelak mengerucutkan keberanian Siska. Sepertinya ia bahkan baru pertama melihat tatapan menakutkan itu di diri Dewa. Cowok itu mungkin kasar, tapi Dewa yang barusan adalah sisi lain yang lebih menakutkan.

Melihat jika semakin lama ia berhadapan dengan Siska hanya akan membahayakan keselamatan cewek itu, Dewa memilih berbalik untuk pergi dari sana. Ia membuka pintu pengemudi, lalu berhenti sejenak untuk menegaskan sesuatu.

"Gue siap kehilangan apa aja untuk Pelita. Seharusnya dari situ lo bisa nyimpulin, seberapa berartinya cewek itu buat gue sekarang."

***

Pelajaran pertama yang dapat Pelita ambil ketika berurusan dengan Dewa adalah, cowok itu tidak suka dibantah.

Ada banyak alasan bagi Pelita untuk tetap tinggal di rumah, menunggu ayahnya pulang dan hanya ada satu alasan baginya menuruti keinginan cowok itu. Karena ia juga ingin melihat Dewa.

Pelita sudah duduk di sofa ruang tamu dengan memangku sebuah buku. Guna memaku dirinya tetap diam, dan menolak gelitik rasa ingin tahu. Kapan lagi dia bisa melihat-lihat rumah Dewa. Rumah yang selalu sepi tanpa siapa-siapa ini.

Dari pengamatan Pelita, rumah Dewa sangat nyaman walau tidak terlalu besar. Tidak terlalu banyak sekat. Bahkan hanya ada beberapa pintu. Satu ruang luas tanpa pembatas menyatukan ruang tamu, dapur dan juga sebuah taman kecil di teras samping.

Seingatnya, lantai atas pun sama. Begitu lengang dan nyaman tanpa sekat pintu atau dinding.

Pelita tidak pernah memiliki rumah impian, tapi jika diberi pilihan, ia akan dengan senang hati tinggal di rumah seperti ini.

Di lembar kelima belas bukunya terbalik, terdengar pula suara pintu depan terbuka. Astaga. Pelita belum memikirkan ini. Menghadapi Dewa setelah pernyataan mutlak cowok itu tentang dirinya.

Apa sebaiknya Pelita bersembunyi?

Dimana dia harus bersembunyi di rumah yang hampir terbuka di setiap sisinya ini?

Pelita tidak sadar meremas bukunya, ketika Dewa muncul di ambang batas ruang depan dan ruang tamu. Cowok berbaju kaos hitam itu membawa ransel sejenis seperti Gerka tempo hari. Rambutnya acak-acakan. Sebuah tas lebih kecil berisi kamera tergantung di bahu. Dan tatapan Dewa tepat ke arahnya.

Invalidite [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang