Invalidite | 18

455K 39.3K 4.9K
                                    


Pernah berjuang akan membuatmu mengerti jika setelah badai, selalu ada pelangi. Meski bukan itu yang kamu ingini.

-Pelita Senja-

Bukannya tidak mengerti, tapi Pelita masih cukup terkejut akan pernyataan Gilvy tentang perasaan yang dipendamnya selama ini. Ia tidak menyangka bahwa apa yang ada diantara mereka berarti lebih dari sahabat untuk Gilvy.

Pelita menoleh, melihat jika mobil Gilvy masih berada di luar gerbang rumah Dewa. Rupanya cowok itu benar-benar ingin memastikannya masuk.

Tingkah laku yang sebenernya sering Pelita dapati dari Gilvy. Dan sekarang ia mengerti akan maksud dari semua itu. Kini tindakan Gilvy justru membuat Pelita merasa bersalah.

"Assalamualaikum," Ditekannya lagi bel untuk kesekian kalinya namun pintu masih saja tertutup.

Demi menenangkan diri akibat mengetahui jika Gilvy masih di luar pagar sana mengawasinya, Pelita mulai meneliti bagian depan rumah Dewa.

Ada beberapa pot kecil berjejer berisi tanaman mati di dekat pintu masuk. Taman kecil di bagian samping pun ditumbuhi rumput memanjang sebatas mata kaki. Pelita menyayangkan hal itu karena meskipun arsitektur rumah ini bagus, tapi tampak tak terawat dan sangat sepi seolah tak berpenghuni.

Persis seperti sekarang ini.

"Assalamualaikum..." serunya lagi, berbarengan dengan menekan bel di samping pintu tidak sabaran. Astaga, Pelita benar-benar sudah tidak tahan.

Mengalah pada bel yang masih berbunyi, ia juga menambah ketukan pada pintu seraya memanggil.

"ASSALAMUALAIKUM. ADA ORANGNYA GAK DI DALAM? BUKAIN DONG...."

Pelita meraih handle, berupaya kosong membuka pintu lalu terkesiap beberapa saat karena pintu itu ternyata tidak dikunci. Tanpa pikir panjang ia masuk dan menutup pintu dengan cepat. Beranjak ke jendela di samping pintu untuk mengintip ke luar.

Dan benar saja, barulah beberapa saat kemudian mobil Gilvy perlahan mundur dan meninggalkan kawasan rumah Dewa.

Tanpa disadarinya Pelita menghela napas lega. Tidak pernah sebelumnya ia merasa tidak nyaman dengan kehadiran Gilvy. Sosok itu selalu menjadi tempatnya beradu resah. Mereka bersahabat. Itulah yang ada di dalam kepala Pelita sampai tadi sebuah pengakuan merubah semuanya ke arah yang tidak Pelita duga.

Pelita berbalik. Memandang ke arah dalam rumah yang sepi. Dewa pastinya sangat ceroboh jika benar-benar meninggalkan rumah dalam keadaan pintu tidak terkunci.

Tapi bukankah Dewa sendiri yang membuat janji hari ini. Cowok itu pasti ada di dalam. Ia pun mengayunkan tongkatnya masuk menuju ruang tamu. Menemukan kekosongan yang sama.

Dapur terlihat jelas dari tempatnya berdiri. Ia masih mengagumi dapur itu ketika waktu itu membuat bubur untuk Dewa. Sekaligus memperlihatkan jika tidak ada siapa-siapa disana.

"Dewa?" Matanya memandang berkeliling, menyapu seluruh ruangan lalu kemudian jatuh pada tangga menuju lantai dua.

Pelita memilih duduk di sofa. Ia merogoh tas dan mengambil ponsel. Melakukan panggilan ke nomor Dewa. Ketika terhubung terdengar pula sayup-sayup dering khas ponsel dari atas. Kepala Pelita mendongak menatap lantai dua, kemudian berdecak cemberut.

"Tuh kan. Orangnya ada padahal tapi gak mau bukain pintu."

Ia memutuskan panggilan dan meraih tongkat. Menuju tangga dan berhati-hati memijakkan ujung tongkatnya di undakan yang tepat. Setelah sampai di lantai berlapis karpet tebal itu, Pelita terpana beberapa saat.

Invalidite [Completed]Where stories live. Discover now